Lihat ke Halaman Asli

Darah di Wilwatikta Eps 21: Keharuman Pagi Berwarna Pelangi

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

SINAR Sang Surya mengintip malu- malu dari balik dedaunan. Dasar jurang dimana Kiran dan Putri Harum Hutan sedang memasak itu terasa sejuk. Semilir angin pagi membelai pipi, dan menerbangkan anak- anak rambut. Gemuruh air terjun yang terdengar meningkahi sejuknya angin dan cericit burung membuat udara semakin dingin. Tapi di dalam bilik bambu, pagi yang sejuk itu dibuka dengan kehangatan yang makin lama makin panas dan membara. Dhanapati bertindak dengan sangat lembut dan hati- hati, tapi racun Paraga Gayuh Tresna rupanya terhirup sangat dalam oleh ketiga Dara. Racun tersebut dengan cepat menyebar di seluruh aliran darah. Saat Dhanapati mendekat, Dara Merah menampilkan gerak dan bahasa tubuh sedemikian rupa yang dengan segera dapat menularkan aliran panas dan menggelitik pada seluruh tubuh Dhanapati. Sementara itu tak jauh dari situ Dara Hijau dan Dara Biru duduk dengan sangat gelisah, tak sabar menanti.

Dara Merah menyerah dengan pasrah saat Dhanapati mulai menyentuh dan membelainya. Hangat nafas Dhanapati berpadu dengan hangat nafasnya sendiri. Kehangatan itu makin menjalar, menjalar, menjalar dan membara... Sementara itu, sepasang kupu-kupu biru berkejaran di luar pondok, diantara harum bunga cempaka dan kenanga. Keharuman bunga- bunga itu berhamburan masuk menerobos bilik bambu dimana kenikmatan yang bergulung naik dan turun seperti ombak di samudera luas melemparkan jiwa ke awan- awan. Membubung tinggi, dan makin tinggi... Gelombang itu bergulung lembut, menghangatkan rasa, lalu membara serta memanas ketika Dhanapati dan Dara Merah bergerak mendekat ke arah pijar Sang Surya. Pijar yang semakin panas kala mereka makin mendekat pada suatu titik ledak yang kemudian, saat mereka tiba di sana... Blarrr... Ledakan besar terjadi dan bintang-bintang berpendaran terhambur ke angkasa. Berwarna-warni seperti percik bara api…

***

Dhanapati melawan rasa kantuknya. Di atas alas jerami, Dara Merah, Dara Hijau dan Dara biru tertidur pulas dengan senyum tersungging di bibir. Sebisanya, Dhanapati merapikan bilik itu, juga pakaian ketiga Dara. Dhanapati tahu bahwa racun Paraga Gayuh Tresna sama sekali tak akan meninggalkan jejak setelah pengaruh racun itu teratasi dengan apa yang dilakukannya tadi pada ketiga Dara tersebut. Ketiga Dara cantik itu akan tertidur dan saat mereka bangun mereka hanya akan merasa seakan baru saja bermimpi. Ingatan yang nyata tentang apa yang sebenarnya terjadi akan hilang. Jikapun mereka nanti bertemu dengan Dhanapati, hanya akan ada sesuatu yang samar- samar yang mengingatkan mereka tentang hal yang bahkan merekapun tak akan dapat menggambarkan lagi apa itu. Racun jahat dan keji ini membebaskan lelaki penggunanya dari kewajiban bertanggung jawab, meninggalkan akibatnya pada para gadis yang kebingungan sebab tak merasa melakukan apapun tapi mendapati dirinya tiba- tiba mengandung seorang bayi. Tentu saja tak semua begitu. Sebagian gadis tak mengandung. Dan karena mereka tak menyimpan ingatan apapun tentang apa yang terjadi, gadis- gadis ini dapat melanjutkan hidup mereka seperti biasa. Dhanapati menyadari semuanya dan karenanya dia sangat berhati- hati ketika melakukan itu. Berusaha agar para Dara tersebut termasuk dalam golongan yang kedua. Apa yang dihadapinya saat ini dengan luka- luka dalam yang belum pulih serta Bhayangkara Biru yang memburunya serta begitu banyak orang yang ternyata ingin menangkap Kiran dengan sebab yang tak diketahuinya sudah cukup banyak tanpa harus ditambah lagi dengan keterlibatannya tanpa sengaja dengan urusan serbuk perangsang asmara, racun Paraga Gayuh Tresna yang sebenarnya sudah tak diijinkan untuk dibuat sejak dua ratus tahun yang lalu. Dhanapati membuka pintu pondok dan melangkah keluar. Dilihatnya tumpukan kayu bakar yang masih menyisakan asap tak jauh dari situ. Tapi Kiran dan Putri Harum Hutan tak ada disana…

***

Saat memasak tadi, Kiran sungguh gelisah. Dia sadar sepenuhnya bahwa dialah yang meminta Dhanapati untuk melakukan apa yang sedang dilakukannya didalam bilik. Tak ada cara lain, sebab memang itulah satu- satunya cara menangkal racun Paraga Gayuh Tresna. Jika hal tersebut tak dilakukan sebelum tengah hari nanti, ketiga Dara itu akan menjadi gila. Tapi entah kenapa, ada rasa tak rela menyeruak di dalam hatinya. Untuk alasan yang berbeda, Putri Harum Hutan juga merasakan hal yang sama. Ada sesuatu yang menusuk- nusuk nyeri ke dalam hatinya yang beku. Ada darah yang menetes kembali. Ada ingatan yang tersimpan rapat kini muncul membayang, tentang seorang lelaki yang pergi ke medan perang dan tak pernah kembali… Kedua perempuan itu seperti sepakat untuk menyegerakan apa yang sedang mereka lakukan agar mereka dapat segera meninggalkan tempat itu. Sesaat setelah masakan mereka matang, Putri Harum Hutan menatap Kiran dan berkata, “ Ayo kuantarkan melihat- lihat tempat di sekitar sini… “ Tanpa ragu Kiran mengangguk. Lalu keduanya melangkah perlahan menjauhi pondok. Dalam perjalanan melihat sekitar itu berulangkali Kiran menghela napas. Apa yang dilihatnya sungguh sangat indah. Bebungaan aneka warna. Pepohonan aneka rupa. Sarang- sarang burung di dahan yang rendah dengan anak- anak burung yang mencericit meminta makan. Keharuman beragam yang berasal dari bunga- bunga di sekitarnya memanjakan penciuman. Selain itu Kiran melihat pula pohon sukun yang sedang berbuah. Tak terbilang pula jenis pepohonan lain yang sedang berbuah lebat. “ Ilmu silatmu bagus, “ Harum Hutan tiba- tiba membuka pembicaraan. “ Terimakasih, “ jawab Kiran, “ Tapi tentu tak setinggi Tuan Putri. Terimakasih telah menolongku tadi… “ Putri Harum Hutan mengabaikan ucapan terimakasih Kiran dan menjawabnya dengan, “ Kau hanya perlu lebih banyak latihan. Kau harus kerap berlatih kini karena kau akan membutuhkan ajian dan jurus- jurusmu itu lebih sering… “ Kiran melangkahkan kakinya, tak menjawab, sebab tak terlalu dimengertinya apa yang dikatakan oleh Putri Harum Hutan tadi. Dia akan membutuhkan ajian dan jurus- jurus ilmu silatnya lebih sering, katanya? Dan mengapa pula itu akan terjadi? Aku ini tabib, pikir Kiran. Lebih penting mempelajari ilmu tentang pengobatan daripada ilmu untuk berlaga. Bagaimanapun, Kiran dapat merasakan bahwa Putri Harum Hutan bersungguh- sungguh dengan ucapannya. Mengingat apa yang telah terjadi, Kiran ingin bertanya apakah dia mengatakan begitu sebab ternyata ada orang yang ingin menangkap Kiran di pondoknya tadi, atau… Tapi sebelum Kiran sempat mengeluarkan suaranya, mereka telah tiba di sebuah padang datar. Padang yang cukup luas itu tertutup rerumputan. Pepohonan berjejer rapat di tepi padang tersebut, tapi padang itu sendiri kosong. Tak ada tanaman apapun selain rumput. Putri Harum Hutan berkata, “ Mari kita berlatih sebentar di sini. “ Walau tetap tak mengerti, Kiran segan membantah. Nada dingin dalam suara Putri Harum Hutan membuatnya memilih untuk menghemat kata- kata. Nanti, pikir Kiran, nanti suatu saat jika kebekuan itu telah mencair, aku akan bertukar cerita dengannya. Tidak sekarang. Maka Kiran memasuki lapangan. Berdiri berhadapan dengan Putri Harum Hutan lalu saling membungkuk memberi salam sebelum memasang kuda- kuda…

***

Di jalan setapak di samping pondok, Dhanapati memperhatikan sekeliling. Dicarinya Kiran, dan Putri Harum Hutan dengan pandangnya. Tapi tak dilihatnya mereka. Dhanapati memperhatikan lagi dan dengan segera didapatinya beberapa tanda yang menunjukkan kemana kedua perempuan itu pergi. Diikutinya jejak tersebut. Sepanjang jalan yang dilalui, seperti juga Kiran dan Putri Harum Hutan tadi, Dhanapati menghirup keharuman banyak bunga. Dan keharuman itu mengingatkannya akan sesuatu. Ah, pikir Dhanapati, aku harus mengumpulkan tujuh macam bunga nanti. Tiba waktunya untuk bersemedi menyembah para Dewata malam ini, disambung dengan berpuasa esok hari. Dhanapati menghitung waktu berdasarkan bulan Purnama, dan dia teringat bahwa esok hari adalah hari kelahirannya. Sambil menyeret Pedang Api Dhanapati terus melangkah. Jejak kedua perempuan yang diikutinya memandunya tiba di tepi sebuah padang datar. Dilihatnya Kiran dan Putri Harum Hutan ada di sana, sedang mengadu ilmu. Dhanapati berdiri tak bergerak, menyaksikan apa yang sedang terjadi di tengah padang itu. Tentu saja dia tahu, Kiran dan Putri Harum Hutan berlaga untuk berlatih, bukan untuk bertempur sungguhan. Tapi apa yang disaksikannya di tengah padang itu… Dhanapati menatap takjub. Ini adalah pertarungan paling indah yang pernah dilihatnya. Dilihatnya Kiran berjinjit, melompat tinggi lalu membungkuk dan berjungkir balik beberapa kali di angkasa, sementara selendangnya membuka melebar, berkelebatan memendarkan warna pelangi. Putri Harum Hutan berkelit, mengibaskan tangannya dan tiba- tiba saja… Dhanapati menyaksikan kapuk- kapuk putih melayang di angkasa. Di sekitar padang rumput dimana kedua pendekar perempuan itu sedang mengadu ilmu memang banyak terdapat pohon randu. Pohon kapuk. Putri Harum Hutan memang tak memiliki senjata khusus. Terbiasa menggunakan apapun yang ada di sekitarnya sebagai senjata, rupanya kali ini dia memanfaatkan pohon randu itu. Di tengah lapangan, Kiran berhenti sejenak. Kapuk putih yang beterbangan itu sungguh indah. Namun dia tak dapat berlama- lama menikmati, sebab senjata sesungguhnya dari pohon randu itu mulai pula beterbangan di sekitarnya. Keping kulit buah randu beterbangan dengan kecepatan yang sangat tinggi menyerbu ke arah Kiran. Kiran tentu saja tahu bahwa kepingan kering itu keras dan jika kulit randu yang keras itu mengenai tubuhnya dalam kecepatan tinggi serta dalam jumlah ribuan seperti yang sedang terjadi kini, maka dia bisa cedera. Kiran bergerak memegang ujung selendang pelangi yang berada di pinggang dan menariknya dengan halus. Selendang itu melebar, sekejap berbentuk seperti kupu- kupu lalu bergerak ke sana kemari, seakan membuat semacam bungkus di sekitar Kiran. Di tepi lapangan, Dhanapati menatap dengan kagum saat menyadari Kiran sedang memperagakan jurus Kokuna Widung Songa ( Kepompong Kupu- Kupu Sutra), jurus ketujuh dari ajian Sebya Indradhanu Paramastri. Selendang yang mulanya membungkus lunak serupa kelambu itu kemudian mengeras berubah bentuk menjadi tameng yang melindunginya dari kulit kapuk yang beterbangan… ( bersambung )




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline