Lihat ke Halaman Asli

Darah di Wilwatikta Eps 10: Saat Perkenalan...

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

KIRAN membalikkan badan. Larut malam saat itu.

Dia berada di sebuah pondok kayu dimana semacam panggung berupa lantai yang ditinggikan berada di dalamnya. Lantai yang berjarak sekitar satu meter di atas tanah itu terbuat dari kayu jati, serupa dengan seluruh bagian lain pondok tersebut.

Disitulah, di panggung kayu jati itu Kiran berbaring di salah satu sisinya.

Di sisi lain terbaring seorang lelaki.

Mereka hanya berdua di dalam pondok itu. Sang pemilik pondok, Putri Harum Hutan tak berada di pondoknya. Dia sedang melawat ke Dharmasraya, ibukota kerajaan Melayu di Swarna Dwipa.

***

"Dhanapati"

Lelaki itu mengucapkan namanya untuk memperkenalkan diri ketika dia terjaga di pagi hari dan mendapati dirinya berada di sebuah pondok kayu bersama seorang gadis yang tak dikenalnya.

"Kirana."

Kiran balas memperkenalkan diri.

"Oh... uh... mmm... “ Dhanapati kesulitan mencari sebutan yang tepat. Bagaimana sebutan yang tepat untuk gadis ini, pikirnya. Tuan Putri? Putri Kirana? Atau yang lain?

Melihat apa yang telah dilakukan sang gadis pada dirinya, Dhanapati tahu bahwa dia sama sekali tak boleh menganggap enteng gadis ini. Jelas gadis di hadapannya ini bukan orang sembarangan. Ilmu yang dibutuhkan untuk menyembuhkan luka- luka yang ditimbulkan para pendekar Bhayangkara Biru adalah ilmu tingkat tinggi. Apalagi, apa yang telah dialaminya bukan hanya bertempur dengah salah satu anggota Bhayangkara Biru saja, tapi tujuh orang sekaligus!

Jadi apa sebutan bagi...

Seakan mengerti apa yang dipikirkan Dhanapati, Kiran berkata, "Panggil aku Kiran saja..."

Dhanapati tercekat.

"Panggil aku Kiran saja."

"Ah, tuan pendekar tak perlu memanggilku tuan putri. Cukup Sekar saja…"

Dhanapati tergugu. Kenangan akan istrinya bergulung melanda. Lalu bersamaan dengan itu sebait tembang muncul memenuhi kepala serta hatinya.

Tak lela lela lela ledung
Cep meneng ojo pijer nangis
Anakku sing bagus rupane
Yen nangis ndak ilang baguse

Tak gadang bias urip mulyo
Dadio satrio utomo
Ngluhurke asmane wong tuo
Dadio pendakaring bangsa
...

Dhanapati merasa hatinya nyeri berdarah.

Tembang itu adalah tembang yang biasa digunakan oleh Sekar dan juga Dhanapati saat menidurkan anak semata wayang mereka.

Dulu.

Sebab anak itu sekarang sudah...

Dada Dhanapati sesak dan dia kehilangan kata- kata. Tenggorokannya tersumbat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline