Memasuki masa pandemi, di setiap kelompok masyarakat yang saya temui, selalu saja ada keluh dari mulut mereka, entah keluhan yang bersifat high size hingga easy size, yang jelas mereka merasa menderita. hehe.
Musababnya tentu dilatari oleh ketidaknormalan segala garis edar kehidupan selama awal mula datangnya Covid-19 hingga sekarang, mungkin saya kira semua makhluk yang berada di kolong langit ini merasakan efeknya, bahkan rumput yang bergoyang di pinggir jalan yang dulu sering diinjak oleh manusia saat berlalu lalang, kini dapat tumbuh dengan sebebas-bebasnya.
Keluhan memang manusiawi, akan tetapi memilih untuk tidak mengeluh akan lebih manusiawi. #CatatQuotes saya. heheh.
Sebab salah satu ke-khasan manusia itu, terdapat di fitrahnya yang bebas untuk memilih, jadi jika ada opsi untuk tidak mengeluh mengapa kita tidak lebih memilihnya.
Sebenarnya inimi waktunya untuk kita lebih memperluas cara berpikir dan cara bertindak, hal-hal yang sebelumnya kita tak pikirkan untuk melakukannya, di saat inilah kita harus menyusun langkah-langkah strategisnya untuk tetap bisa "tahan banting" dalam keadaan ketidaknormalan yang berujung kebaruan dari sebuah yang normal sebelumnya.
Inilah masanya, dan kita tidak bisa mengelaknya, seluruh dunia merasakannya. Jadi setidaknya dengan tidak mengeluh kita tidak menambah udara suram dunia hari ini kawan-kawan.
Maka, untuk meyakinkan kita semua sebelum mengeluh (lagi), saya bagikan foto di bawah ini:
Foto diatas saya jepret di tengah hamparan lautan luas, yang jika kita tenggelam tak ada yang mampu menyelamatkan kita, tak ada yang mampu menolong kita, tak ada telinga yang mampu mendengarkan suara kita.
Namun di foto tersebut, seorang nelayan sedang memasang perangkap kepitingnya tak mau tahu itu, tak peduli dengan itu, dan tak menghiraukan itu, sebab ia telah lebih memilih untuk tidak mengeluh ketimbang menopang dagu, karena keluarganya menunggu makan di rumah
Ia seorang diri, berbekal perahu kecil di tengah ombak yang besar, saya memotretnya dari kejauhan #jadi maklum piksel zoomnya pecah, hanya pakai smartphone biasaji kodong, heheh. Saat saya sedang perjalanan pulang dari pulau kecil menuju Makassar.
Air keringat dari nelayan itu pastilah tak dapat dibedakan lagi dengan asinnya air lautan.