Sebagaimana mahasiswa yang lain, kopi atau tepatnya segelas kopi adalah bukti Tuhan untuk meyakinkan makhluk-Nya "Nikmat apa lagi yang kau dustakan?"
Tapi ada kegusaran yang menggerogoti kecemasan saya lebih daripada kecemasan akan jodoh, yaitu susahnya masyarakat kita membedakan antara peminum kopi dan penikmat kopi.
Kegusaran tersebut timbul diawal mulai oleh betapa banyaknya masyarakat yang berkomentar ketika saya ikut ngopi bareng bersama mereka, entah ngopi di warung, di teras tetangga, atau ruang tamu orang tua gebetan yang serem kumisnya minta ampun.
Dan asal Anda tahu saja, bahwa komentar-komentar mereka tidak kalah nyinyir tingkat jagad dengan komentar-komentar negara kesatuan netizen budiman, yang jika boleh saya urai komentar-komentarnya yaitu:
Pertama: "Kenapa sih kalau kamu minum kopi pelit amat?"
Coba diterawang, betapa kadar pelit saya bisa diukur oleh mereka dari aktivitas saya meminum kopi, padahal asal mereka tahu saja, definisi antara "menikmati" dan "meminum" itu sangatlah berbeda di dalam kamus manapun, bukankah saat mereka menghidangkan segelas kopi mereka berkata "silakan dinikmati kopinya daeng".
Kedua: "Nda bisakah itu kopi langsung diteguk saja?"
Dari komentar itu, saya menemukan teori bahwa kapasitas intuisi dan imajinasi masyarakat kita masih rendah, betapa nggak?
Andai kedalaman intuisi dan imajinasi mereka dalam, mereka akan mengerti bahwa menikmati proses meminum kopi itu jauh lebih berharga dan berarti daripada menghabiskannya.
Ketiga: "Dinginmi itue kopimu, nda enakmi itu rasanya."
Masyarakat yang belum tahu membedakan peminun kopi dan penikmat kopi bagi saya tidak jauh beda dan sangat tidak jauh-jauh amat dengan masyarakat yang belum tahu arti sukses sebenarnya, yang lebih sering menilai dari banyaknya gaji yang didapat, sebab mereka tak tahu hakikat enak onani dari sebuah segelas kopi itu apa.