Di tengah situasi yang relatif sudah sangat terbuka secara global, menjadi lumrah jika arus barang, uang,investasi maupun jasa dalam kaitan ekonomi menjadi sangat dinamis. Dinamika yang kemudian ditangkap oleh negara sebagai potensi yang dapat meningkatkan daya saing dan peluang untuk meninkatkan kesejahteraan di masyarakatnya.
Hal serupa juga berlaku untuk Indonesia. Sebagai negara dengan beragam potensi dan kekayaan serta masih dalam tahap berkembang, menjadi wajar jika potensi dan kekayaan yang dimiliki tersebut terus dikembangkan untuk kepentingan dalam negeri, seiring pertambahan jumlah penduduk, tingkat pendidikan maupun volume ekonomi yang dimiliki.
Dalam hal strategi peningkatan ekonomi maupun daya saing itu, berbagai kebijakan telah diambil. Mulai dari penguatan secara bilateral atau multiteral dengan berbagai negara, termasuk Jerman sebagai salah satu negara kuat dalam bidang ekonomi. Upaya tersebut dengan target besar yakni masuk dalam kelompok negara dengan ekonomi terpenting dunia. Dalam 20 tahun ke depan, Indonesia mengimpikan masuk dalam negara keempat terbesar dari sisi ekonomi dari yang saat ini berada di posisi 16 besar.
Dalam satu wawancara dengan media Jerman Handelsblatt di sela-sela kunjungan kerja ke Jerman beberapa waktu lalu, Airlangga yang juga Ketua Umum Partai Golkar ini menyebut jika Indonesia sangat terbuka untuk kerjasama maupun investasi dari senua pihak dengan prinsip saling menguntungkan. Namun kerjasama tersebut kerap tidak berjalan adil dan seimbang utamanya dari Uni Eropa.
Ketidakadilan itu terlihat dari cara Uni Eropa yang memberlakukan Indonesia secara berbeda, dibanding Vietnam dan Thailand. Akibatnya negosiasi IEU CEPA tak kunjung usai dalam 7 tahun terakhir. Padahal Indonesia memiliki peran besar dalam tatanan perekonomian dunia. Indonesia tidak mau menunggu terlalu lama.
"Kami terbukti inklusif, dan itu bisa dilihat saat menjabat presidensi G20, inklusivitas itu termasuk mempertimbangkan suara negara-negara selatan. Kami ingin melihat semuanya bersama demi kepentingan semua pihak. Dapat kita lihat, meski dunia ini besar di satu sisi, namun dunia ini juga menjadi semakin kecil di sisi lain. Hal yang terjadi jauh di Ukraina tetap memberikan dampak terhadap orang-orang di Indonesia.
Mereka tidak tidak ada hubungannya dengan apa yang terjadi di Ukraina, namun mereka harus menanggung akibatnya. Itu yang tidak diinginkan Indonesia. Hal yang sama terjadi terhadap Israel dan Hamas, ketika harga minyak naik, orang-orang di jalanan (Indonesia) yang akan menderita. Kami tidak ingin penderitaan ini dirasakan secara global. Sehingga apabila kita bisa membantu mereka, itu akan membantu masyarakat Indonesia juga,"kata Airlangga.
"Saya rasa investasi tidak memiliki bendera. Kami sangat terbuka untuk semua pihak. Jadi menurut saya (yang berinvestasi di Indonesia) bukan hanya Tiongkok, tapi juga ada AS di sisi tembaga (Freeport). Dulu juga ada Jepang di sisi bauksit. Oleh karena itu, untuk nikel kami belajar dari sejarah tersebut. Sebelum investasi di nikel, Indonesia mengekspor baja hanya USD2 miliar. Itu sekitar tahun 2014. Namun sekarang jumlahnya mencapai USD26-30 miliar dalam setahun.Jadi ini merupakan nilai tambah bagi masyarakat Indonesia,"
Dalam isu masa depan nikel, Airlangga juga menegaskan bahwa bisnis tersebut dilaksanakan berbasis energi hijau melalui pabrik peleburan yang dioperasikan dengan tenaga air, pembangkit listrik tenaga gas, atau bahkan pembangkit listrik tenaga surya. Upaya yang itu dilakukan dalam kerangka transisi energi. Meski tak bisa juga diabaikan kepentingan daya saing sehingga produk Indonesia tetap kompetitif. "Maka Green nickel dan pertambangan berkelanjutan akan terus berproses secara bertahap,"lanjutnya.
Untuk masalah adanya aturan dan pembatasan perdagangan, Airlangga tidak melihat itu sebagai rintangan dalam negosiasi perdagangan bebas dengan Uni Eropa. Apalagi Indonesia berhak mengelola hasil alamnya sendiri. Sehingga tujuan dalam aturan dilarangnya ekspor bahan mentah yang belum diolah bertujuan agar Indonesia punya daya saing di tingkat global, sekaligus memberi nilai tambah ke dalam negeri dan menguntungkan bari rakyat.
Saat ini Indonesia berada di peringkat 16 negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Dalam 20 tahun, Indonesia bercita-cita menjadi nomor empat. Indonesia akan terus berupaya agar dapat masuk dalam kelompok negara dengan ekonomi terpenting dunia. Penguatan hubungan kerja sama ekonomi bilateral dengan berbagai negara tentunya akan membantu Indonesia mencapai tujuannya, termasuk juga kerja sama dengan Jerman.
Terkait dalam jumlah penduduk yang berkorelasi dengan peluang menjadi negara dengan kekuatan keempat terbesar dunia, Airlangga memaparkan jika hal itu bisa diraih jika pada tahun tahun 2045 nanti jumlah penduduknya sekitar 320 juta orang dengan PDB USD30.000 per kapita, berarti Indonesia akan menjadi negara dengan perekonomian sejumlah USD9 triliun.