Industri kelapa sawit Indonesia sejak satu dekade terakhir telah berstatus sebagai komoditas strategis yang harus dilindungi.Perlindunganya tak cuma dari dalam negeri tetapi juga dari aturan internasional yang mungkin tidak masuk akal. Status ini menjadi kunci pertumbuhan ekonomi nasional, didukung oleh produksi tahunan sekitar 46,82 juta ton, di mana 40,51% diantaranya berasal dari perkebunan sawit rakyat pada tahun 2022, mencakup luas 6,21 juta hektar.
Sejumlah langkah dan kebijakan telah diambil oleh pemerintah, salah satunya adalah Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang bertujuan untuk menjaga kontinuitas dan kualitas produksi petani sawit. Dalam kurun waktu 2017-2023, luas kebun sawit rakyat yang diremajakan mencapai 306 ribu hektar dengan total dana Rp8,5 triliun, namun masih diinginkan peningkatan sesuai arahan Presiden Joko Widodo.
Menurut Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dukungan terhadap program ini telah juga diberikan dalam berbagai inisiatif seperti Program Sarana Prasarana, yang memberikan bantuan benih, pupuk, pestisida, dan mesin pertanian. Pemerintah juga memberikan bantuan pendidikan dan pelatihan kepada lebih dari 7.000 petani pada tahun 2023 dengan total dana Rp127 miliar, sebagai upaya meningkatkan sumber daya manusia di sektor perkebunan sawit. Hal itu tak lain karena "Indonesia merupakan produsen sawit terbesar di dunia dan lebih dari 16 juta ton diproduksi oleh petani rakyat,"ujar Menko Airlangga saat berbicara di depan peserta Pertemuan Nasional Petani Kelapa Sawit dalam Rangka HUT ke-23 Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) di Jakarta, (7/12/2023).
Meskipun demikian, industri kelapa sawit Indonesia dihadapkan pada tantangan signifikan, terutama dari negara-negara Uni Eropa. Kebijakan European Union Deforestation Free (EUDR), yang melarang biodiesel kelapa sawit masuk ke kawasan tersebut, menjadi salah satu sumber ketidakpastian. Menko Airlangga juga menyoroti tiga tantangan utama, yaitu potensi pengeluarkan pekebun dari rantai pasok global, persyaratan data geolokasi tanpa jaminan hukum, dan klasifikasi risiko negara.
Dalam menanggapi hal ini, Pemerintah bersama Malaysia membentuk Joint Task Force Indonesia-Malaysia dan EU, sebagai tindak lanjut dari Joint Mission pada Mei lalu. Tujuan dari langkah ini adalah memastikan bahwa implementasi EUDR tidak merugikan negara produsen seperti Indonesia dan Malaysia.
Terkait dengan verifikasi data keterlanjuran lahan dan Sertifikasi ISPO, Menko Airlangga menekankan pentingnya penyelesaian cepat. Rendahnya realisasi sertifikasi ISPO untuk petani sawit rakyat memicu perubahan regulasi, dengan Pemerintah memberikan bantuan biaya sertifikasi. Tim APKASINDO diberikan tanggung jawab untuk menyelesaikan permasalahan terkait dalam satu bulan.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan industri kelapa sawit Indonesia dapat tetap menjadi andalan ekspor negara, sambil menghadapi dan menyelesaikan tantangan global yang dihadapinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI