Tanah dan lahan telah menjadi isu lama di setiap periode pemerintahan. Selain jadi persoalan sosial, isu pertanahan ini menyangkut langsung kepada ekonomi di kelompok mayoritas bangsa Indonesia. Hal serupa juga menjadi prinsip pemerintahan presiden Joko Widodo yang menganggap bahwa masalah lahan ini berkait langsung berpengaruh besar dan memiliki daya ungkit untuk pemulihan ekonomi. Paradigma itu yang kemudian diterjemahkan dalam program Reforma Agraria, dengan tujuan utama mempermudah masyarakat mendapatkan status hukum atas lahan yang mereka kuasai. Program yang pada gilirannya ditujukan sebagai alat dalam mengeksekusi kebijakan pengurangan ketimpangan penguasaan lahan, pengurangan kemiskinan serta penciptaan lapangan kerja baru dengan tujuan akhirnya, menjadikannya sebagai sumber kemakmuran dan menjadi pendorong untuk peningkatan kesejahteraan. Semua rencana tersebut turut jadi bagian tak terpisahkan dari RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024.
Hasilnya, dalam pelaksanaan selama empat tahun terakhir reformasi agraria tersebut sejumlah capaian telah berhasil diciptakan. Hingga Oktober 2023, target penataan dan asset dan akses yang tercatat ada se luas 9 juta hektar, capaian Sertifikasi Hak Milik Tanah Transmigrasi seluas 140.590,72 hektar dan pendaftaran tanah atau PTSL mencapai 9.173.953 hektar.
Wujud dari pekerjaan yang terus dijalankan tersebut adalah sejumlah indikator positif yang akan terus dijalankan pada masa-masa mendatang,"Reforma Agraria ini berdampak langsung bagi ekonomi masyarakat dimana pendapatan per kapita penerima Reforma Agraria meningkat 20,02% pada tahun 2022," ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang juga merupakan Ketua Tim Reforma Agraria Nasional saat berbicara dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Reforma Agraria dengan tema "Menyongsong Indonesia Emas 2045 Melalui Pelaksanaan Reforma Agraria yang Inklusif dan Kolaboratif" di Jakarta, Selasa (31/10).
Meski telah memperlihatkan hasil, terdapat sejumlah aspek yang memerlukan peningkatan. Percepatan yang diwujudkan dalam bentuk peluncuran Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria sebagai upaya dalam mempercepat pencapaian target Reforma Agraria. Perpres tersebut menghadirkan terobosan dalam hal aturan, seperti penyediaan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) khususnya dari Kawasan Hutan, penyelesaian konflik agraria, penguatan kelembagaan Reforma Agraria, serta percepatan pelaksanaan penataan aset dan akses. Diharapkan lewat aturan baru ini muncul dorongan untuk menyelesaikan masalah dalam program Reformasi Agraria tersebut khususnya yang berkaitan dalam hal pencapaian target realisasi sertifikasi tanah transmigrasi dan redistribusi tanah dari pelepasan Kawasan Hutan.
Tak cuma soal status kepemilikan lahan, upaya lain dalam peningkatan kinerja program tersebut juga dibuat dalam wujud integrasi data Reforma Agraria melalui pembentukan sistem Bhumi GTRA. Sistem tersebut hadir sebagai platform dalam mengintegrasikan seluruh kegiatan penataan aset dan akses yang merujuk pada model Land Management Paradigm (LMP) yang merupakan fitur dari laman Bhumi ATR/BPN.
"Kami mengharapkan keterlibatan penuh dari Gubernur dan Bupati/Walikota sebagai Ketua Gugus Tugas Reforma Agraria Daerah dan kerja sama Kementerian/Lembaga, untuk bersama-sama melaksanakan rencana aksi dalam Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 dan Deklarasi Karimun GTRA Summit 2023 dalam mempercepat penyelesaian program pemerataan ekonomi pada Semester 1 Tahun 2024," pungkas Menko Airlangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H