Pertumbuhan impresif ekonomi Indonesia di tengah kondisi global yang belum menentu antara lain ditopang oleh produk komoditas seperti ekspor industri kelapa sawit dan produk turunannya. Salah satu sektor bidang pertanian ini menjadi bahan yang paling banyak diekspor dengan total angka sebsar 46,9 juta ton pada tahun 2022 lalu. Besaran sebanyak itu setara dengan pertumbuhan eksport yang mencapai 6,53 persen (yoy) dari Rp329,4 triliun pada tahun 2021 menjadi Rp350,9 triliun pada tahun 2022. Catatan mengesankan itu juga tidak lepas dari berbagai kebijakan yang diterapkan pemerintah melalui berbagai kebijakan agar perkembangannya tetap di jalur positif. Salah satu yang terpenting diantaranya adalah program mandatori biodiesel 35 persen atau B35.
Namun pemerintah juga menyadari bahwa ada kelompok dari pelaku usaha ini yang perlu mendapat perhatian lebih dalam, selain korporasi besar yang selama ini telah banyak menikmati berbagai kemudahan fasilitas dan keuntungan dari naiknya harga produk sawit di manca negara. Untuk itu bersama negara tetangga Malaysia yang juga menjadi produsen utama kelapa sawit dunia, pemerintah kini memberi perhatian lebih pengembangan petani kecil dengan meningkatkan penyerapan produk di dalam negeri serta mendorong percepatan hilirisasi.
Hal tersebut dimasukkan sebagai bagian dari penguatan isu yang lebih strategis dan jangka panjang seperti aspek keberlanjutan kelapa sawit melalui skema sertifikasi nasional yakni ISPO dan MSPO untu Malaysia. Terlebih saat ini Sekretariat CPOPC juga telah mengeluarkan Global Framework Principles for Sustainable Palm Oil (GFP-SPO). Agar rencana tersebut bisa terwujud, pemerintah dalam hal ini Kemenko Perekeonomian mendorong pemangku kepentingan domestik agar segera merumuskan strategi dalam mempertahankan harga remunerasi minyak sawit, mengingat sebagai kontributor pasokan minyak sawit global terbesar di dunia, Indonesia dan Malaysia diharapkan dapat memperoleh harga yang menguntungkan bagi berbagai pihak.
"Kami sepakat untuk terus melindungi sektor kelapa sawit dengan memperkuat upaya dan kerjasama dalam mengatasi diskriminasi terhadap kelapa sawit. Menanggapi meningkatnya kebijakan sepihak yang mempengaruhi kelapa sawit, pertemuan ini sepakat untuk memanfaatkan keterlibatan dengan negara-negara pengimpor utama melalui dialog kebijakan," ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam acara The Palm Oil Industrial Dialogue Between Indonesia and Malaysia, Kamis (9/02)..
Pada saaat yang sama usai acara, Menko Airlangga bersama rekannya yang mewakili pemerintah Malaysia, yakni Wakil Perdana Menteri dan Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia YAB Dato' Sri Haji Fadillah bin Haji Yusof
menberi keterangan bersama terkait sejumlah bahasan yang telah mereka bicarakan seperti seputar masalah industri kelapa sawit, serta usulan pendekatan bersama dan kemungkinan tindakan terkoordinasi.
"Pemerintah Indonesia telah meluncurkan program B35. Inisiatif ini diharapkan dapat meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi sekaligus menghemat devisa USD10.75 miliar. Dengan mengurangi 34,9 juta ton emisi Gas Rumah Kaca, ini juga akan mendukung transisi Indonesia menuju energi yang adil dan inklusif," kata Airlangga Hartarto yang juga Ketua Umum Partai Golkar itu.
Dalam kesempatan tersebut juga dilakukan penyerahan Keketuaan CPOPC untuk tahun 2023 kepada YAB Dato' Sri Fadillah bin Hj Yusof serta membahas strategi perluasan keanggotaan CPOPC dan melihat kemungkinan Honduras untuk menjadi anggota ketiga CPOPC dalam waktu dekat.
Pemangku kepentingan domestik juga perlu untuk Serupa dengan penetapan harga, perluasan akses pasar dengan tetap memperhatikan prinsip selektif juga penting untuk dilakukan guna mengoptimalkan keuntungan tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H