Mubalig, penceramah, dai adalah tugas dan kewajiban setiap muslim. Karena Nabi berkata Sampaikan dari ku walau satu ayat. Karena berstatus wajib, maka belajar dari sejarah persebarannya di nusantara, agama ini dibawa oleh pedagang, bukan oleh dai atau yang spesialis bertugas untuk itu seperti yang terdapat pada agama lain Mereka berdakwah lewat lewat perilaku karena juga paham dan mempraktekkan hadist, Nabi datang utk menyempurnakan akhlak. Baru kemudian, setelah jumlah ummat bertambah banyak para ahli agama juga bertambah. Tapi para ulama2 yang datang ke nusantara itu, tidak berdakwah dengan cara keliling kampung atau negeri. Mereka sengaja mendirikan sekolah serta pusat pendidikan. Mereka sadar dengan mendirikan pusat pendidikan, agama ini bisa tersebar secara benar, dan diterima secara benar dari orang yang paham secara benar.
Sebaliknya untuk yang memerlukan, mereka sendir yang datang ke institusi itu. Ulamanya tidak mendatangi juga tak menerima bayaran atau menetapkan tarif dari audiensnya. Kalaupun harus berkeliling dan ceramah, itu kegiatan bersifat sampingan. Fakta berikutnya berdirilah ratusan atau ribuan pesantren, yang jutaan lulusannya tak menjadikan dakwah, ceramah sebagai profesi utama. Dalam mencari rezeki, mereka punya usaha lain yg tak terkait lgsg dgn ilmu yang mereka dapat seperti jadi pedagang tani, pegawai dll. Dakwah mereka terus jalan tapi lewat perilaku. Sampai awal abad ke-20, ini masih banyak dilakukan.Yang mau belajar agama datang ke pusat pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan.
Lalu ada kekosongan, yang itu oleh Syekh M Jamil Jambek diisi dengan aktifitas Tabligh, dakwah berkeliling kampung, di Minangkabau. Bukan dengan mendirikan sekolah2 seperti sejawatnya yang lain, spt Haji Rasul, (ayah buya Hamka), atau Haji Abdul Latif Syakur di Bukittinggi. Seiring waktu, terjadi pergeseran.Dakwah yang tadinya kewajiban setiap muslim lewat perilaku, mengerucut jadi tugas orang2 tertentu. Awalnya niat tulus itu memang masih mampu menjaga para dai.
Namun seiring massivnya perkembangan jaringan televisi dan IT, dakwah yang tadinya kewajiban tiap muslim, tak lagi murni. Masyarakat pun secara tak sadar juga melakoni. Budaya pop yang tunduk kepada selera pasar, membuat ceramah agama mulai diukur berdasarkan angka. Karena "tuntutan pasar", yang itu juga terkait supply n demand, keluhuran tugas ini mulai terdegradasi. Ukurannya bukan pada kedalaman ilmu, tapi popularitas. Dan diperburuk oleh sikap materialistik jamaah, yang lebih suka menjadikan aktifitas itu sebagai tontonan, bukan tuntunan. Rela bayar mahal dai seleb perkotaan, daripada guru kampung yg lebih menguasai serta mempelajarinya dari dasar. Atau pada satu titik lain, penceramah ini datang ke berbagai jadwal yang diberikan oleh sejumlah mesjid, karena ada "uang transport" yang mereka bawa pulang.
Yang itu jika dilakoni secara rutin beberaoa hari dalam seminggu, cukup untuk menambah keperluan dapur keluarganya. Pada sisi lain, tuntutan pasar juga melahirkan penceramah setengah matang. Yang lebih banyak membahas ranting dari pada pokok. Utamakan tampilan daripada laku. Utamakan ego daripada tawadhu... Utamakan suara daripada rasa. Dan umumnya mereka yang berlatar belakang bukan pendidikan pesantren, atau bukan spesialis belajar agama selama sekian tahun. Kalaupun pernah belajar, hanya sekedar dapat ijazah, paham sedikit bahasa arab. Sisanya cari di google. Tak haya itu, isi ceramah mereka ada yang mirip kaset rekaman, alias diulang-ulang. Kondisi yang secara kasat mata menunjukkan bahwa daya baca, minim literasi atau malas melongok referensi. Sehingga apa yang disampaikan kadang nggak nyambung dengan keadaan.
Padahal, di tataran yang lebih tinggi, Seorang Tan Malaka pernah berkata, "Penulis itu, jika karyanya ingin dibaca orang. Bacaannya harus 10 kali lebih banyak dari pembacanya. Maka, seharusnya syarat sama juga untuk mubaligh era IT saat ini. Bila ingin didengar dan dihargai, bacaannya harus lebih dalam dari jamaahnya. Yang terjadi saat ini adalah sebaliknya,. Banyak dai naik mimbar dengan modal seadanya. Atau mendadak jadi mubalig karena terjebak situasi, seperti para muallaf2 yang sejatinya cuma Pansos itu. Maka wajar, ketika modal ilmu sangat terbatas, maka preferensi lain dan hawa nafsu dalam warna sosial yang terjadi di sekitarnya menjadi bensin penggerak suara. So menjadi wajar jika tak jarang yang muncul adalah caci maki yang jauh dari ajaran Nabi, namun karena mereka ada yang bersorban, yang muncul adalah rasa enggan untuk memberi peringatan dan nasehat.
Kalaupun dengan tensi yang lebih rendah, ceramah mereka juga relatif ada banyak kurang up date. Data yg dipakai adalah bahan lama.. Akibatnya, pendengar jadi tertidur karena isi kajian penceramah terasa membosankan. Atau alih-alih menambah ilmu, siraman rohani yang ada malah jadi menumpulkan logika dan mematikan nurani. Atau kadang memberi jawaban yang tak berujung solusi. Tapi karena sebagian sudah terlanjur diletakkan pada posisi terhormat, dan pendengar berada dalam kondisi pasif, maka fenomena diatas dianggap bukan persoalan. Saat ada upaya penataan, reaksi yang muncul adalah penolakan. Padahal, kalau gejala diatas tak ditangani, yang akan terjadi adalah pembusukan dari dalam secara perlahan. Persoalannya bukan pada aktifitas. Tapi lebih kepada pelaku. Penataan mubaligh, penceramah diperlukan. Bukan untuk pembatasan. Karena dakwah dengan ceramah hanya salah satu cara. Cara lain masih banyak dan jauh lebih efektif bila pelakunya melek dan sadar dengan guna serta fungsi teknologi.
Bagi yang takut dan khawatir sertifikasi akan menjadi alat penguasa untuk membatasi jalan dakwah, artinya dia tidak paham sejarah syiar agama ini. Sekaligus terkungkung dan mengunci diri dalam pemikiran gelombang kedua peradabannya Alvin Tofller yang sudah masuk museum atau telah berada di zaman batu. Maka disini berlaku ungkapan.. Al Islam, Mahjubun Bil Muslimin.. Cahaya Islam redup akibat perilaku orang Muslim sendiri. Celakanya, cahanya itu dibikin redup oleh mereka yang mengaku menjadi penyebar ajaran. Padahal yang mereka lakukan adalah perusakan.... Saya percaya masih banyak ulama dan ahli ilmu agama yang punya modal besar dalam menjaga nilai luhur agama ini lewat ketulusan mereka dalam memberi pencerahan kepada ummat. Tapi jika mereka mau disetarakan dengan orang-orang seperti fenomena yang muncul di masyarakat itu, artinya anda sedang menghina diri sendiri, karena mau disejajarkan dengan manusia-manusia yang kualitasnya tak setara dengan waktu dan perjuangannya dalam menggapai posisi terhormat yang saat ini sudah ditempati.... Maka untuk kita semua persoalan ini saya kembalikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H