Indonesia telah menetapkan ekonomi hijau sebagai bagian tak terpisahkan dalam pembangunan berkelanjutan. Tulang punggungnya adalah dengan menetapkan emisi rendah karbon dalam mencapai visi Indonesia maju 2045 dan nol emisi pada tahun 2060.
Langkah-langkah tersebut juga menjadi salah satu strategi Indonesia keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah atau "Middle Income Trap". Karena pembangunan rendah karbon turut menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan sosial dengan tidak mengabaikan kualitas lingkungan. Meski tak dapat dipungkiri, rencana dan implementasinya harus berhadapan dengan sejumlah tantangan.
Untuk itu pemerintahan presiden Joko Widodo telah menerapkan serangkan program dan kerangka kerja untuk program yang tujuan akhirnya adalah pelestarian lingkungan yang berjalan berdampingan dengan pembangunan.
Seperti disampaikan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, komitmen itu diwujudkan dalam bentuk alokasi anggaran dalam skema APBN dan non APBN. Bahkan, pada masa pandemi sekalipun, program tersebut secara inklusif terus berlangsung sejalan dengan pemulihan ekonomi nasional yang tujuan akhirnya adalah terbangunnya ekonomi Indonesia yang kuat, tumbuh sekaligus berkelanjutan
"Ekonomi hijau dalam dokumen perencanaan telah dimasukkan dalam RPJMN 2020-2024 dengan tiga program prioritas, yaitu peningkatan kualitas lingkungan, peningkatan ketahanan bencana dan perubahan iklim, serta pembangunan rendah karbon," ucap Airlangga dalam acara Global Network Week yang diadakan oleh Universitas Indonesia dengan topik Indonesia's Policies and Strategies to Embrace an Inclusive and Green Recovery.
Anggaran perubahan iklim rata-rata mencapai 4,1 persen dari APBN, dimana 88,1% di antaranya dibelanjakan dalam bentuk infrastruktur hijau sebagai modal utama transformasi ekonomi hijau di Indonesia.
Landasan peraturan untuk itu pun sangat kuat, karena komitmen perubahan itu tertuang dalam UU No. 71 Tahun 2021 dan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 yang menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia, sekitar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Sementara dari APBN, dana yang ditetapkan rata-rata mencapai 4,1 persen yang 88,1 persen diantaranya dipakai untuk belanja infrastruktur hijau.
Semuanya dimaksudkan sebagai modal utama transformasi ekomomi hijau di Indonesia. "Dengan langkah-langkah tersebut, target Net Zero Emission pada tahun 2060 yang ditetapkan pemerintah dapat tercapai dan akan lebih awal bisa terlaksana jika mendapat dukungan internasional,"papar Ketua Umum Partai Golkar ini.
Dukungan internasional tersebut menjadi sangat penting karena investasi yang dibutuhkan sangat besar. Selain investasi yang sifatnya fisik, merubah kesadaran agar beralih kepada produk efisien serta ramah lingkungan adalah kerja panjang yang tak bisa dilakukan dalam waktu singkat.
Atau dengan kata lain, niat baik Indonesia untuk mau beralih kepada green energy dan green economy juga tergantung dari kemauan baik negara-negara industri maju untuk beralih seperti Indonesia. Karena dalam banyak kasus, negara-negara seperti Amerika Serikat dan China atau Eropa hanya mau menuntut negara berkembang lain untuk beralih ke ekonomi hijau, namun mereka sendiri cenderung enggan melakukan hal sama. Atau tak mau mengeluarkan anggaran untuk komitmen yang juga mereka tetapkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H