Sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil, Indonesia perlu membuat kebijakan lanjutan demi menjaga trend tersebut tetap di zona positif. Antisipasi internal telah dilakukan melalui sejumlah program, maupun kebijakan ekonomi yang secara makro telah mampu menjaga gerak ekonomi tetap positif di tengah badai pandemi covid-19 yang merasuk hingga merusak tatanan ekonomi.
Sedangkan secara eksternal, dalam artian mengamankan kepentingan ekonomi Indonesia terhadap dampak global yang terjadi akibat pandemi tersebut juga telah dilakukan pemerintah sejak jauh hari. Karena masalah ekonomi dan gerak perdagangan global yang terganggung karena virus yang belum ada obatnya tersebut, masih jadi tantangan yang belum selesai.
Itu belum menyebut masalah lain yang sudah lebih dahulu muncul yakni perang dagang antara sejumlah negara-negara dengan kekuatan ekonomi terbesar dunia, seperti Cina vs Amerika Serikat. Konflik non perang yang suka atau tidak, akan sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Merah Putih.
Karena suka atau tidak, Indonesia juga berkepentingan dengan keduanya, alias tak bisa mengabaikan salah satunya, mengingat nilai total ekspor ke negara-negara tersebut, sangat berpengaruh kepada proyeksi devisa negara. Belum lagi jika bicara dengan negara-negara lain seperti Australia, Jepang dan negara-negara ASEAN.
Ragam persoalan yang umumnya berkaitan dengan lalu lintas barang dan jasa yang masing-masing negara punya kebijakan sendiri, yang tak jarang bertolak belakang dan memunculkan konflik. Masalah-masalah ini yang coba diselesaikan Indonesia dengan sebuah inisiatif berbentuk perjanjian perdagangan dagang terpadu dengan beberapa negara sekaligus.
Nama inisiatif yang ditawarkan tersebut adalah Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) atau Perjanjian Kesepakatan Kerjasama Ekonomi Menyeluruh. Misi Indonesia dengan kerjasama RCEP ini adalah untuk mengonsolidasikan lima perjanjian perjanjian perdagangan bebas (FTA) yang sudah dimiliki ASEAN dengan enam mitra dagangnya. Usulan tersebut dikemukakan Indonesia sejak tahun 2011 saat Indonesia memegang kepemimpinan ASEAN pada 2011.
Proses perundingan perjanjian ini sendiri telah selesai pada 11 November 2021 lalu dengan 15 negara yang menyepakati, terdiri dari 10 negara ASEAN dan 5 mitra ASEAN yaitu Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Saat ini, sudah ada 7 Negara ASEAN (Brunei, Kamboja, Laos, Thailand, Singapura, Vietnam, dan Myanmar) dan 5 Negara Mitra ASEAN (RRT, Jepang, Australia, Selandia Baru, dan Korea Selatan) yang telah merampungkan proses ratifikasi masing-masing.
Dengan jumlah negara dan profil yang dimiliki, maka dapat diperkirakan jumlah manfaat yang bisa diperoleh Indonesia dari perjanjian ini. Maka wajar jika kemudian, Indonesia yang juga memegang presidensi G20 tahun 2022 mematok target akan meratifikasi sekaligus menyelesaikan perjanjian tersebut pada kuartal I tahun 2022 ini.
Beberapa hal yang bisa disebut adalah, terdapatnya kepastian dan keseragaman aturan perdagangan, iklim investasi yang lebih kondusif, peningkatan volume dan peluang usaha barang, jasa, investasi, serta penguatan integrasi ke dalam Regional Value Chain (RVC). "Ratifikasi oleh Pemerintah Indonesia menjadi syarat utama pemanfaatan Perjanjian RCEP di dalam negeri,"kata Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto saat pembukaan perdagangan perdana BEI (Bursa Efek Indonesia) 2022.
RCEP merupakan kemitraan ekonomi komprehensif regional Asia yang digagas Indonesia saat memegang kepemimpinan ASEAN pada 2011. Kerja sama ini bertujuan untuk mengonsolidasikan lima perjanjian perjanjian perdagangan bebas (FTA) yang sudah dimiliki ASEAN dengan lima mitra dagangnya yaitu, Cina, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru.
Aspek lain yang membuat Indonesia berambisi dalam penerapan inisiatif ini adalah nilai ekonomi dan signifikansi ekonomi yang terkandung di dalamnya.