Lihat ke Halaman Asli

Anak Tansi

Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta

Sampai Kapan Petani Sawit Mandiri Jadi Anak Tiri di Negeri Sendiri?

Diperbarui: 7 Januari 2020   00:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Kenaikan harga jual kelapa sawit (crued palm oil) di bursa komoditas dunia tak serta merta membawa tambahan keuntungan untuk petani perorangan.   Mereka  kurang memiliki daya tawar lebih untuk bisa mendapatkan harga jual  terbaik dari Tandan Buah Segar (TBS) sawit  produksi kebun  yang dimiliki.

Tak seperti sawit  keluaran kebun milik korporasi swasta atau perkebunan milik pemerintah, alias BUMN (Badan Usaha Milik Negara), yang jumlahnya sangat massiv. Kedua entitas tersebut sedikit punya daya tawar lebih, karena resource yang dikuasai.  Sementara  petani sawit perorangan hanya bisa melihat  harga pasar menjadi sekedar acuan, dan  untuk harga penjualan, mereka tak  punya daya tawar memadai.

Praktik tersebut sudah berjalan puluhann tahun, saat hasil kebun sawit petani perorangan mulai memberi hasil.   Itu bisa terjadi karena beberapa hal. salah satunya adalah karena, tak adanya model perlindungan harga  petani terhadap   gejolak pasar sebagaimana yang diatur dalam UU no. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan Pemberdayaan Petani.

Karena petani perorangan perkebunan sawit tidak memiliki payung hukum sejenis, praktis hingga saat ini harga TBS mereka sepenuhnya tergantung kepada hukum pasar.  Akibatnya mereka hanya bisa ikut kepada patokan yang ditetapkan oleh pedagang pengumpul atau tengkulak yang datanya hingga kini tak dimiliki pemerintah.

Padahal, sebelum bermimpi untuk lahirnya UU yang melindungi petani sawit perorangan tersebut, pemerintah semestinya sudah bisa lebih memberi perlindungan, dengan mendata jumlah tengkulak, sehingga dari sana, pantauan harga beli TBS dari tengkulak kepada petani bisa diawasi.

Saat ini  berdasarkan data Aprobi (Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia),   dari total 14,7 juta lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia, 41 persen dikelola oleh petani perorangan dengan jumlah tidak kurang dari 5,8 juta orang.

Total 41 persen lahan itu setara dengan 4,7  juta hektar kebun  yang dikelola secara mandiri dimana tidak kurang juga dari 12 juta orang menggantungkan hidup kepada komoditas ini. Dari lahan seluas 4,7 juta hektar itu, mereka menyumbang sebanyak 18 juta ton kelapa sawit dari total 43 juta ton produksi sawit Indonesia secara keseluruhan.

Jumlah tersebut bukan angka kecil dan alias cukup significant untuk menyangga  pasokan sawit baik untuk dalam negeri maupun  ekspor. Namun itu  tersebut tak serta merta mendorong pemerintah memberi perlindungan secara aturan atau Undang-Undang.

Saat ini, upaya pemerintah untuk memperkuat keberadaan para petani swadaya ini baru  sampai  pada tahap program replanting alias Peremajaan Sawit Rakyat atau PSR. Dimana, pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit menyediakan dana  untuk PSR  itu  sebesar Rp25 juta/ha, yang salah satu tujuannya adalah  untuk meningkatkan produktifitas hasil kebun mereka.

Namun hal tersebut tentu tidak cukup, alias belum menyentuh pokok masalah yakni memberdayakan secara keseluruhan, yang itu tak cukup sekedar pemberian bantuan Cuma.

Pemerintah semestinya mulai mempertimbangkan pembentukan lembaga khusus atau Kementerian, atau lembaga khusus yang langsung dibawah presiden guna menjangkau seluruh aspek tentang salah satu ujung tombak industri ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline