Industri sawit dalam negeri relative optmistis menghadapi tahun 2020. Itu antara lain dipicu oleh kebijakan penerapan program B30 yang mulai berlaku pada awal tahun depan. Meski baru berlaku beberapa hari lagi, namun pasar sudah bereaksi positif sejak beberapa waktu sebelumya.
Itu terlihat dari kenaikan harga beli Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit yang naik drastis dalam beberapa bulan terakhir. Hingga awal November lalu, harga TBS di tingkat petani sudah mencapai Rp8.900/kilo. Bandingkan dengan harga pada bulan Juli 2019 yang terpuruk di harga Rp1.298,60/Kg.
Angka-angka tersebut diatas layak menjadi penyebab mengapa pelaku usaha bisnis minyak nabati ini bisa tersenyum sekaligus optimistis menghadapi kondisi tahun depan.
Namun demikian, sikap optimistis tersebut tak lantas membolehkan stake holder boleh ongkang-ongkang kaki dalam menikmati keuntungan. Pekerjaan rumah yang tersisa dan membelit serta belum tersentuh dan harus dibereskan masih berserakan di sana sini.
Salah satu masalah terbesar yang dikeluhkan oleh nyaris seluruh pelaku usaha ini adalah soal regulasi serta legalitas lahan yang tumpang tindih. Kondisi ini dipertegas oleh fakta yang menyebut bahwa data luas kebun kelapa sawit antara satu lembaga dengan lembaga resmi milik pemerintah yang berbeda satu sama lain.
Sebagai contoh, pendataan luas lahan yang dilakukan Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) Kementerian Pertanian, Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Informasi Geospasial (BIG), dan Lapan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) pada 2018, menyebut izin lokasi yang terekam sudah ada sekitar 20 juta hektare. Namun berdasarkan pantauan citra satelit, 16,3 juta hektare sudah tertutup oleh tanaman kelapa sawit. Padahal izin perkebunan kelapa sawit di data milik Kementerian Pertanian (Kementan) hanya 14,31 juta hektare.
Artinya ada 'izin' perkebunan sawit tak tercatat seluas 1,99 juta hektare. Data Kementan juga mencatat luas perkebunan sawit rakyat sebesar 5,81 juta hektare atau 40,59 persen dari luas lahan sawit yang berizin. Kebun yang dikelola perusahaan besar swasta 7,79 juta hektare atau 54,43 persen dan perkebunan besar negara seluas 713,12 ribu hektare atau 4,98 persen.
Tak cuma perkebunan di dalam kawasan hutan. Tumpang tindih izin dalam satu area juga banyak ditemui. Bukan satu dua kali terjadi, ada lahan perkebunan diklaim kepemilikannya oleh lebih dari satu perusahaan.
Pada titik ini, keputusan pemerintah untuk mengeluarkan Inpres Moratorium Perkebunan Kelapa Sawit adalah keputusan tepat, karena carut marut legalitas tersebut adalah wujud bukti sudah benar atau tidaknya tata kelola sawit Indonesia.
Tumpang tindih serta legalitas yang kabur tersebut muncul tak lain karena aturan yang ada juga saling bertabrakan, satu sama lain. Kita bisa lihat salah satunya pada Peraturan Presiden nomor 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan, yang menyebut bahwa masalah perkebunan di kawasan hutan bisa diselesaikan melalui perhutanan sosial.
Namun, beleid itu bertentangan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, perhutanan sosial yang tak membolehkan digunakan sebagai perkebunan kelapa sawit.