Indonesia sudah memutuskan untuk mengggugat keputusan Uni Eropa terkait biodiesel ke Badan Perdagangan Dunia WTO (World Trade Organization) pada tanggal 9 Desember 2019 lalu. Dasarnya, blok perdagangan tersebut dianggap telah bertindak diskriminatif terhadap minyak kelapa sawit yang dituduh sebagai komoditas tak ramah lingkungan serta dicap sebagai industri perusak alam. Sehingga atas dasar itu, RED II dan ILUC yang ditetapkan oleh Uni Eropa menetapkan bahwa sawit dan biodiesel Indonesia dibatasi peredarannya di wilayah mereka.
Poin yang ditolak Indonesia ada pada Kebijakan RED II yang mewajibkan Uni Eropa menggunakan bahan bakar dari energi yang dapat diperbarui mulai 2020 hingga 2030. Kemudian dalam aturan turunannya, Delegated Regulation, minyak kelapa sawit dikategorikan sebagai Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi. Akibatnya, biofuel berbahan baku minyak kelapa sawit tidak termasuk dalam target energi terbarukan Uni Eropa, termasuk minyak kelapa sawit Indonesia
Pemerintah tentu sudah memperhitungkan untung rugi mengajukan gugatan tersebut. Yang pasti alasan utamanya adalah karena minyak kelapa sawit dan produk turunannya ini masuk kategori industri strategis dan telah menerapkan prinsip bisnis berkelanjutan. Sementara dalam RED II dan ILUC tersebut secara tidak langsung memberi dukungan kepada industri bunga matahari dan budidaya kacang kedelai sebagai bahan baku minyak nabati. Kedua jenis tumbuhan tersebut adalah industri utama sebagian negara-negara Eropa dan benua Amerika, seperti Brasil dan Amerika Serikat.
Karena sudah masuk ke wilayah sengketa dan konflik, kedua pihak tentu sudah mempersiapkan segala sesuatunya sebagai senjata atau strategi sebelum masuk ke arena "pertandingan" yang diwasiti oleh WTO tersebut.
Ibarat pertandingan olahraga, sidang tersebut bukan pertandingan nomor lari cepat atau sprint, yang hanya berlangsung beberapa menit bahkan detik, lalu selesai. Sidang ini terkait biodiesel ini lebih mirip lari marathon yang berlangsung relative lama, atau jika diibaratkan dengan pertandingan sepakbola, bukan pertandingan kelas turnamen yang berlangsung rata-rata satu bulan.
Sidang di WTO tersebut lebih mirip kompetisi yang durasinya berlangsung sepanjang bulan dalam kurun waktu satu atau dua tahun. Maka, sudah tentu segala persiapan fisik, materi, serta data lengkap sudah harus ada sejak jauh-jauh hari untuk pertandingan tersebut.
Menurut peneliti INDEF Bima Yudhistira, sidang sengketa di WTO tersebut bisa berjalan bertahun-tahun. "Kemungkinan bisa berjalan selama empat sampai lima tahun, itupun kalau menang"kata Bhima dalam salah satu kesempatan.
Maka, seperti disebut diatas, karena berlangsung secara marathon dan panjang, stamina tentu harus disiapkan juga untuk jangka panjang tersebut. Selain itu, seperti manajer dalam pertandingan sepakbola, maka yang jadi manajer atau pengacara pemerintah, tentu harus sosok terbaik dan siap dibayar mahal.
Salah satu poin yang bisa jadi modal dan strategi Indonesia menghadapi sidang di WTO tersebut adalah penguatan data plus dengan kajian ilmiah guna mendukung argumen bahwa industri ini sudah menjalankan praktek bisnis sesuai aspek berkelanjutan, seperti yang diterapkan dalam label ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil).
Sedangkan dari sisi lain seperti penyiapan informasi yang clear di dalam negeri menyoal kebijakan parlemen Eropa tersebut juga menjadi poin penting. Atau juga, seiring pelaksanaan sidang (jika itu jadi berlangsung) pemerintah harus terus memperbaiki tata kelola kelapa wasit di Indonesia.
Langkah-langkah tersebut perlu dilakukan pemerintah mengingat Indonesia memiliki masalah di sektor tata kelola kelapa sawit. Bahkan kebijakan parlemen Eropa terkait biodiesel kabarnya disebabkan oleh tata kelola kepala sawit di Indonesia yang masih bermasalah. Kata kuncinya ada ada perbaikan, dan pada titik ini Uni Eropa melihat Indonesia belum terlihat serius