Sejak periode pertama, presiden Joko Widodo menyadari bahwa kampanye negative terhadap sawit Indonesia harus diatasi secara lebih serius. Beragam langkah telah dilakukan untuk membendung atau menjawab ragam kampanye hitam khususnya Uni Eropa yang menuding industri ini tidak ramah lingkungan serta menjadi biang deforestasi.
Salah satu senjatanya adalah dengan penerapan label ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil). Label yang diwajibkan pemberlakuannya sejak tahun 2015, sebagai cara Indonesia dalam menerapkan prinsip bisnis berkelanjutan dan pro lingkungan seperti yang diminta negara-negara tersebut.
Karena dengan label atau sertifikasi yang wajib diikuti oleh seluruh stake holder sawit dalam negeri ini, Indonesia punya senjata untuk membantah tuduhan yang sebagiannya sudah naik menjadi rancangan peraturan sebagaimana yang termaktub dalam ILUC (Indirct Land Use Change) yang dibuat Uni Eropa
Karena di dalam ISPO ,semua aspek yang dituntut Eropa sudah terpenuhi dan tidak cma boleh diberlakukan di negara produsen.
Karena sejak awal Indonesia yakin kredibilitas masalah lingkungan ini tak lebih dari kedok proteksionisme, terutama untuk melindungi dan mempromosikan minyak nabati rapeseed yang tumbuh di Eropa.
Atau dalam bahasa lain, aspek berkelanjutan tersebut, jangan cuma diterapkan kepada kelapa sawit lewat ISPO yang secara sukarela menjadi pionir untuk industri minyak nabati berkelanjutan.
ISPO dengan kelapa sawit sejatinya bisa menjadi bench mark tentang tanggungjawab permintaan global tentang minyak nabati berkelanjutan. Atau dengan kata lain, ILUC tersebut jangan cuma menyebut dan menuduh Indonesia sebagai tidak pro lingkungan karena sawitnya. Karena pada saat bersamaan, kenapa campuran kimia pada minyak nabati dari bahan lain yang mayoritas diproduksi oleh sejumlah negara Eropa dan Amerika tidak masuk dalam daftar negative tersebut ?.
Dengan mengedepankan ISPO, dunia bisa melihat secara lebih fair bahwa ini tidak Cuma urusan pasar Eropa namun juga dunia yang terus tumbuh, seiring populasi umat manusia. Dan sawit layak menjadi solusi utama sebagai minyak nabati berkelanjutan. Itu tak lain karena minyak nabati ini memiliki produktifitas 6-10 kali lipat lebih besar dengan penggunaan lahan yang lebih efisien dibandingkan dengan minyak nabati dunia lainnya.
Untuk itu, jika melihat dari kebijakan perdagangan, sistem berbasis aturan perdagangan multirateral perlu ditinjau ulang dan harus mencerminkan kepentingan negara-negara berkembang secara memadai, termasuk dalam hal CEPA Indo-EU. Di sini regionalisme menjadi penting dimana ASEAN dan sekitarnya juga merupakan peluang pasar inti terbesar di dunia.
Minyak kelapa sawit harus memiliki tempat yang menonjol dalam agenda bilateral, regional, Free trade agreement, diskusi multilateral, negosiasi dan perjanjian. Namun demikian serapan pasar domestic tetap menjadi agenda utama pemerintah.