Siapapun akan mengakui Industri kelapa sawit atau CPO (Crued Palm Oil) Indonesia punya nilai strategis. Itu tak lain karena fakta-fakta yang dimiliki, mulai dari luas cakupan wilayah, sumber daya manusia, area pemasaran yang mendunia yang berujung kepada label salah satu penyumbang devisa terbesar.
Dengan label strategis tersebut tak jarang membuat pelaku usaha ini kerap merasa diatas angin, kerap bertindak sesuka hati dalam mencapai target keuntungan yang memang jadi tujuan utama sejak awal modal ditanam. Tindakan yang suka atau tidak, terbukti telah memberi banyak dampak buruk bagi lingkungan, masyarakat dan tatanan social dimana sebuah perkebunan milik korporat mengawali operasi serta kegiatannya.
Kondisi tersebut bisa terjadi juga bukan karena suka rela, atau diniatkan sejak semula. Namun juga bisa terjadi akibat kondisi lapangan, peraturan serta birokrasi berbelit, ketidakpastian status hukum, tak jarang memaksa mereka bertindak diluar prinsip-prinsip bisnis yang ada dalam teks book buku ilmu ekonomi.
Untungnya, pemerintah sejak satu dasa warsa terakhir telah menyadari sinyal negatif yang berpotensi jadi duri dalam daging dari catatan positif yang selama ini telah dicapai budi daya ini. Duri dalam daging yang sejak lama disadari telah menjadi salah satu pintu masuk oleh sejumlah pihak luar dalam memberi cap negative yang berujung kepada pembatasan pemasaran di sejumlah negara, khususnya Eropa.
Upaya memperbaiki kelemahan dan tata kelola industri ini sendiri sudah dilakukan pemerintah dari berbagai sektor. Mulai dari penguatan aturan, pelibatan masyarakat untuk terlibat dan menjadi bagian usaha sekaligus mendapat keuntungan, hingga kepada pembatasan pengembangan lahan atau moratorium. Semua itu demi satu tujuan yakni terciptanya bisnis sawit di Indonesia yang berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip berkelanjutan.
Wadah penerapan prinsip sawit berkelanjutan itu sendiri sudah dijalankan dalam lembaga yang disebut ISPO atau Indonesian Sustainable Palm Oil.
Seperti diketahui, ISPO merupakan kebijakan Pemerintah Indonesia yang bertujuan meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia. Label in dibentuk pada tahun 2009 untuk memastikan bahwa semua pihak pengusaha kelapa sawit memenuhi standar pertanian yang diizinkan.
Tujuan lain pemberlakuan ISPO sebagai label berlakunya prinsip bisnis berkelanjutan oleh pelaku usaha sawit dalam negeri tersebut tak lain adalah untuk memastikan Indonesia tak lagi sebagai negara penyumbang emisi gas kaca, atau lebih tepatnya Industri sawit bukan penyebab deforestasi, seperti yang menjadi senjata utama oleh sebagian negara Eropa dalam membendung sawit Indonesia masuk ke wilayah tersebut.
Namun, sejak pemberlakuan label ini sepuluh tahun lalu, belum seluruh perusahaaan sawit dalam negeri yang mematuhi, atau menerapkan aturan yang diterapkan oleh label ini.
Kondisi tersebut dinyatakan sendiri oleh Kepala Sekretariat Komisi ISPO R Azis Hidayat. Menurutnya, tahun 2019 ini, dari total 725 perusahaan sawit dalam negeri, baru separo yang menjalankan aturan atau memenuhi sertifkasi seperti yang diamanatkan alias 372 badan usaha yang menjalankan. Sisanya? tetap beroperasi sesuai maunya sendiri, dengan aturan lama yang sudah mereka terapkan sebelumnya.