Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian telah menetapkan wajibnya penerapan prinsip berkelanjutan untuk industry kelapa sawit melalui label ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) kepada perusahaan perkebunan skala besar.
Selain untuk penataan serta tata kelola usaha yang lebih berpihak pada pelestarian lingkungan, ISPO juga sebagai jawaban atas ragam tudingan pihak asing yang menyebut industry ini menjadi biang deforestasi. Atau dalam bahasa lain, penolakan sejumlah negara, khususnya Eropa terhadap industry sawit dan produk turunannya karena menilai tata kelola sawit nasional masih belum baik.
Dalam perjalanannya, label ISPO yang diterapkan di tanah air untuk seluruh perusahaan perkebunan sawit belum sepenuhnya terlaksana karena berbagai hal.
Hal sama juga terjadi untuk kalangan petani mandiri atau perorangan yang mengelola sendiri kebun sawit mereka. Untuk kelompok ini, kewajiban penggunaan label ISPO belum menjadi kewajiban karena sejumlah pertimbangan.
Menurut sejumlah kalangan, pemerintah seharusnya lebih dahulu berkonsentrasi kepada perusahaan besar dalam hal mandatory ISPO tersebut. Pasalnya, sebagai sebuah entitas bisnis, prinsip kerja serta manajerial kelompok ini lebih mudah diawasi dan mereka terikat aturan hokum yang lebih ketat. Itu tak lain karena usaha mereka diawali oleh sebuah badan hukum, sehingga segala konsekwensi dan manfaat sudah dipahami sebelum memulai usaha.
Persoalan serupa tak bisa diberlakukan untuk kelompok tani atau perorangan. Pemerintah, semestinya justru harus mengambil peran untuk lebih melindungi, karena suka atau tidak, kelompok ini tidak memiliki SDM dan pendanaan cukup kuat dalam menjalankan bisnis mereka
Penguatan posisi petani dalam masalah penerapan label ISPO ini dinyatakan oleh Wakil Ketua Asosiasi Sawitku Masa Depanku (SAMADE), Pahala Sibue.
Pahala menyebutkan, petani perorangan belum memerlukan sertifikasi ISPO ataupun RSPO. Yang lebih dibutuhkan oleh kalangan ini adalah penguatan lembaga mereka, baru kemudian label ISPO atau RSPO tersebut bisa diaplikasikan.
Kelembagaan petani seperti poktan, gapoktan dan KUD merupakan infrastruktur petani yang perlu dibangun atau direvitalisasi. Di sini menjadi tugas dan tanggungjawab Kementan lewat Dirjen Perkebunan untuk melaksanakannya.
Karena dengan kelembagan petani yang penguatannya dibantu oleh pemerintah, akan terciptalah rencana, kerja, kontrol untuk pembinaan petani dalam meningkatkan Sumberdaya Manusia (SDM), maupun penguatan kelembagaan. Hal-hal seperti ini yang diperlukan petani namun tak pernah didapatkan sebelumnya.
Untuk mewujudkan ini semua perlunya kerjasama antar Pemerintah (Dirjenbun), Asosiasi Petani dan Penyandang dana/ BPDP-KS.