Lihat ke Halaman Asli

Anak Tansi

Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta

Uni Eropa Perpanjang Tenggat Larangan Perederan Sawit Indonesia, Peluang atau Ancaman?

Diperbarui: 27 Juni 2019   12:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

infosawit.com

Indonesia dan Malaysia mendapat kesempatan waktu lebih panjang dalam memperbaiki tata kelola industri sawit  dalam kaitan biodiesel di dalam negeri masing. Itu terjadi setelah Uni Eropa memperpanjang batas waktu pelarangan beredarnya biodiesel di benua tersebut dari tahun 2021 ke tahun 2030.

Uni Eropa juga memutuskan akan mempertahankan volume impor serupa 2019 dan akan mengurangi impor minyak sawit secara perlahan mulai tahun 2023.

Sebelumnya parlemen Eropa menetapkan akan melarang penggunaan minyak sawit sebagai bahan campuran biodiesel pada 2021. Menyusul disepakatinya RED II oleh Komisi Eropa.

Keputusan itu tak pelak menimbulkan protes keras dari Indonesia serta Malaysia yang menyebutnya sebagai keputusan diskriminatif, walau itu hanya berlaku untuk biodiesel, bukan  pembatasan untuk produk turunan lain minyak tersebut.

Lalu, apakah hal tersebut layak disambut baik atau dicurigai sebagai jebakan betmen? atau hanya sekedar mengulur waktu?

Jika dipandang secara positif, keputusan baru tersebut sejatinya memberi kesempatan kepada Indonesia waktu lebih panjang dalam menata industri sawit dalam negeri.

Karena salah satu  yang menjadi penyebab munculnya larangan ekspor tersebut adalah factor pengelolaan lingkungan yang dinilai Eropa tak sesuai dengan prinsip bisnis berkelanjutan atau sustainability, meski Indonesia sudah menerapkan label ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil).

Untuk itu, dengan perpanjangan waktu yang diberikan, ISPO menjadi punya waktu untuk terus memperbaiki kinerjanya dan membuktikan dugaan bahwa  cap sebagai tukang stempel pengusaha dalam pengelolaan industry sawit yang berkelanjutan, tidak benar

Karena seperti banyak diketahui, tata kelola sawit berkelanjutan  dalam negeri tak semata-mata berkaitan dengan masalah lingkungan, namun juga penguasaan dan status sebuah lahan.

Pada kasus yang tumpang tindih model inilah yang membuat ISPO menjadi tak berdaya, karena belum tersedianya data tunggal dan menyeluruh sehingga mudah diterjemahkan secara berbeda.

Mudah-mudahan dengan tenggat waktu yang diperpanjang tersebut Indonesia bisa mempebaiki tata kelola sawit secara lebih baik dan sesuai prinsip Pembangunan Berkelanjutan seperti yang diinginkan Uni Eropa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline