Kritik dan tudingan atas perlakuan buruk negara terhadap kelompok buruh sudah seperti rutinitas, khususnya jelang peringatan Hari Buruh Se Dunia yang jatuh pada 1 Mei nanti atau May Day.
Maka industry kelapa sawit Indonesia sebagia salah satu bidang usaha yang banyak memperkerjakan tenaga kerja kasar pasti kembali menjadi sasaran tembak.
Serangan dan kritik atas kondisi pekerja dan perlakuan korporasi terhadap buruh sector ini sudah menjadi lagu rutin yang biasanya menjadi dagangan lama Umumnya pengkritik tersebut adalah LSM internasional serta negara-negara yang tergabung dalam kelompok Uni Eropa. Yujuannya tak lain untuk memperkuat tudingan yang sebelumnya telah menjadi rumusan dalam RED II Renewable Energy Directive (RED) II Delegated Act untuk kemudian disahkan oleh parlemen Eropa.
RED II sendiri berisikan larangan masuk ke Eropa terhadap masuknya biofuel asal kelapa sawit dari Indonesia dengan alasan bahwa produk tersebut tak menerapkan prinsip berkelanjutan (Sustainable) dalam proses tanamnya. Penggundulan hutan alias deforestasi menjadi alasan utama hingga terbitnya rancangan tersebut. Padahal berdasarkan data serta kajian, tudingan tersebut sama sekali berbeda dengan kenyatan di lapangan.
Maka bertepatan dengan peringatan hari buruh 1 Mei nanti kemungkinan besar, persoalan nasib pekerja perkebunan sawit kembali diapungkan. Gunanya memperkuat tuduhan tak berdasar seperti deforestasi. Kali ini yang menjadi pembungkus adalah isu Hak Asasi Manusia (HAM), seperti yang juga biasa dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap negara yang tak sesuai dengan keinginannya.
Padahal jika negara-negara tersebut membaca dan memperhatikan, persoalan pekerja atau buruh perkebunan sawit ini sudah masuk dalam ISPO atau Indonesian Sustainable Palm Oil System. Sebuah syarat dan stempel izin resmi atau laber dari pemerintah bagi pelaku usaha bidang minyak nabati ini.
Sebagai sebuah label yang membuat standarisasi atas proses produksi industry kelapa sawit bisa ramah lingkungan, ISPO memiliki i tujuh prinsip dan kriteria yang salah satunya poin kelima yaitu tanggung jawab pada pekerja.
Pada poin ini secara tegas dinyatakan bahwa pelaku usaha ada aturan terkait keselamatan dan kesehatan kerja (K3), membatasi tenaga kerja anak (di bawah umur), memfasilitasi serikat buruh di dalam kerangka memberikan masukkan pada pemerintah bersama membangun kebijakan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Poin diatas yang kalau diringkas, sejatinya sudah menjalankan prinsip-prinsip HAM, meski harus diakui belum semua dilakukan secara konsisten.
Perlindungan Hak pekerja dan meminimalisir isu ketengakerjaan yang diterapkan ISPO itu mengacu secara tegas kepada ketentuan UU Tenaga Kerja. Yang antara lain adanya kewajiban kepada perusahaan perkebunan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemampuan pekerja sesuai peraturan perundang-undangan. Dilarang memperkerjakan anak di bawah umur dan melakukan diskriminasi sesuai peraturan perundang-undangan," kata Azis.
Selain itu, ISPO dan UU Ketenagakerjaan juga secara tegas menyatakan bahwa perusahaan perkebunan harus memfasilitasi terbentuknya serikat pekerja dalam rangka memperjuangkan hak-hak pekerja. Dan, wajib mendorong dan memfasilitasi pembentukan koperasi pekerja dan karyawan. "Jadi jika ada isu nergatif tenaga kerja di perusahaan sawit, maka ISPO bisa menjawab," tegasnya.
Untuk diketahui, serangan terhadap industry sawit dalam negeri itu berkisar pada enam masalah antara lain mengenai status ketenagakerjaan, hubungan industri. Pada poin ini, suara yang mengemuka adalah bahwa buruh sawit tak punya kebebasan dalam membangun serikat pekerja di lingkungan mereka.