Minder adalah hukuman dari kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain.
Selepas lulus kuliah, saya meninggalkan Yogyakarta. Tujuannya ialah “kota empek-empek” Palembang. Saya bertugas di tempat yang asing bagi saya.
Terbersit juga rasa khawatir untuk memulai sesuatu yang baru. Nggak pernah membayangkan kalau saya akhirnya bertugas di tempat semacam itu. Saya sungguh sulit membayangkan apa yang akan terjadi. Tugas ini berhubungan banyak orang. Bisakah saya membantu orang-orang untuk masuk ke dalam misteri hidup mereka? Mampukah saya menjadi mentor dan motivator bagi orang lain? Apalagi yang saya hadapi adalah mereka yang telah berusia lebih tua daripada saya. Tentu pengalaman dan wawasan hidup mereka lebih dibanding saya. Hal ini semakin membuat saya minder. Aku nggak pede. com
Aneh rasanya, orang seperti saya ternyata nggak percaya diri atau nggak pede. Padahal saya senang bergaul dengan orang lain. Teman banyak. Kata orang, saya termasuk pribadi yang supel. Untuk memulai suatu obrolan mudah.
Namun saya punya penyakit kalau disuruh tampil mendadak sering nggak pede. Misalnya teman-teman bilang, “Ayo kamu nyanyi!” (Ya ampun padahal suara saya asli bisa bikin jebol amplifier). Suatu hal yang saya buat bila tanpa persiapan akan membuat kikuk kalang kabut. Kendati tampil dan bernyanyi tetapi mata selalusaya tatapkan ke lantai atau menyapu rambut orang lain. Apalagi kalau ditambah dengan ngomong yang resmi-resmi, hmm pasti bakal belepotan. Rasanya ingin cepat-cepat menyelesaikan kesempatan itu.
Suatu pagi, setelah saya ngobrol dengan pimpinan kerja, terjadi sesuatu yang luar biasa dalam diri saya. Pagi itu, ia membeberkan job deskripsi saya. Pada bagian final ia mengatakan, “Kamu jadilah dirimu. Tampilkanlah dirimu secara maksimal. Anggap saja kamu adalah direkturnya. Keluarkan semua kemampuanmu di tempat ini dan berikan yang terbaik. Pasti kamu segera bisa melaksanakan tugasmu di tempat ini, atau jika tidak, kamu tidak pernah akan menjadi apa-apa.”
Perkataan itu bagaikan petir yang membuka kesadaran saya. Siapa yang mau “tidak pernah menjadi apa-apa” alias nggak eksis? Tidak ada orang mau menjadi nothing. Saya pun demikian. Dan semenjak saat itu, keraguan dan rasa minder perlahan-lahan pupus.
Hantu pikiran
Tahukah apa yang terjadi selanjutnya? Rasa minder/nggak pede yang saya punyai sebenarnya sama sekali tak beralasan. Saya pikir-pikir ternyata minder muncul karena saya senantiasa membandingkan dengan orang lain yang tentu memiliki kemampuan berbeda. “Kamu jadilah dirimu!” Ya menjadi diri sendiri berarti saya memiliki standar kemampuan seturut kemampuan saya entah dalam berbicara, memberi ilustrasi, mencapai suatu hasil studi, cara berelasi yang berbeda dengan orang lain atau dalam hal lainnya.
Saya ingat teman di SMA, Bambang dijuluki “tukang mbanyol”. Dia pernah tampil dalam lomba lawak di sekolah. Hebat dia. Jempol deh untuk dia. Apa saja yang keluar dari mulutnya bisa membuat orang lain tertawa.Oleh karenanya dia cukup favorit di antara teman-teman sekolah.
Saya ingin juga bisa membuat orang lain tertawa. Rasanya kalau omongan saya bisa buat orang lain tertawa maka puas dan punya kebanggaan gitu. Saya meniru dia. Tetapi selalu guyonan yang saya buat rasanya kurang sreg. Lawakan saya garing. Semakin saya mengukur diri berdasarkan kemampuan dia, semakin saya frustasi dan minder. Maka membandingkan dengan kemampuanorang lain itu seperti menyimpan hantu dalam pikiran. Senantiasa khawatir dan tidak berani karena ada bayang-bayang hitam yang menakuti tindakan saya.
Perlu affirmator
Dari perjalanan hidup itu saya belajar suatu yang penting untuk hidup. Dalam hidup ini selalu saja ada orang yang menjadi affirmator bagi saya. Hanya dengan sebaris kata dia mengubah hidup. Saya diberi seorang affirmatordengan sabdanya, “Kamu jadilah dirimu. Tampilkanlah dirimu secara maksimal. Anggap saja kamu adalah direkturnya. Keluarkan semua kemampuanmu di tempat ini dan berikan yang terbaik. Pasti kamu segera bisa melaksanakan tugasmu di tempat ini, atau jika tidak, kamu tidak pernah akan menjadi apa-apa.”
Si affirmator menghilangkan rasa tidak percaya dengan memberikan kepercayaan kepada saya. Ia membuat saya percaya bahwa saya berbeda dari yang lain, bahwa saya memiliki kemampuan, bahwa kemampuan itu bisa dimaksimalkan. I am from nothing to something.Dan saya percaya bahwa saya bisa berubah kalau saya menghendakinya. I am who am.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H