Sebagaimana kita semua alami sekarang, situasi dunia terus berlangsung dalam keadaan penuh kewaspadaan. Realitas pandemi covid 19 telah membawa ke hadapan kita kenyataan-kenyataan baru yang harus kita hadapai sebagaimana adanya, sekaligus meminta kita untuk senantiasa berpikir dan menemukan jalan keluar terbaik.
Sejak merebaknya covid 19, Italia sempat menjadi epicentrum yang berada di posisi kedua setelah Cina. Namun, situasi terus terubah hingga akhirnya menempatkan Negeri Spaghetti sebagai negara dengan jumlah kasus positif dan kematian tertinggi di dunia. Sebuah keadaan yang tak pernah diharapkan atau bahkan tak terpikirkan.
Meskipun menjadi kenyatan yang tak mengenakkan, semua akhirnya harus menerima. Ternyata benarlah ungkapan yang sering kita dengar bahwa "tiada gunanya kita menghakimi situasi". Kita tidak dapat mengubah situasi dengan menghakiminya. Situasi hanya dapat berubah ketika kita sendiri berubah.
Pada titik ini, refleksi kita akan situasi menjadi berbeda. Cara pandang terhadapnya akan semakin netral. Kenetralan situasi menyata dalam keadaanya yang menawarkan kepada kita, sebagai subyek, sejuta kemungkinan. Kemungkinan yang kadang tak terhingga dan atau mungkin juga terbatas itu melahirkan dalam diri subyek sebuah tanggungjawab untuk meresponsnya.
Jenis respons terhadap situasi akan memberi dampak, tidak hanya kepada subyek melainkan terutama kepada kualitas tanggungjawab kita. Tapi, ah, sepertinya pembahasan ini sudah jauh dari topik. Mari kita kembali ke topik kita.
Situasi pelik yang menimpa Italia pada kenyataannya memaksa rakyat negeri spaghetti itu bertanggungjawab mengubah situasi ke arah lebih baik. Pandemi covid 19 memberikan sebuah momen imperatif untuk menangkap satu dari sekian banyaknya kemungkinan bagi semua orang, terkhusus kepada Italia yang tingkat keparahannya sangat tinggi.
Saya menyebutnya imperatif (keharusan) karena jika tidak menangkap momen dengan memberi respon, maka kemungkinan akan tetaplah menjadi kemungkinan. Bahkan buruknya, kemungkinan akan melahirkan kemungkinan-kemungkinan baru yang berpotensi lebih fatal.
Imperatif apa yang urgen, merupakan sebuah pertanyaan kualitatif yang harus dibaca dalam perspektif dan relaitas aktual dan diarahkan kepada masa depan. Pada saat ini, tentu semua pemimpim negara di dunia sedang bekerja keras untuk menjawab pertanyaan di atas.
Salah satu yang telah dijawab oleh Italia adalah mereka menempatkan kemanusiaan sebagai nilai tertinggi dibanding nilai prestasi masa depan dalam angka kelulusan. Sebagaimana diberitakan dalam surat kabar EL PAÍS , pada 4 April 2020 lalu, Italia telah membuat dekrit undang-undang yang mengatur penutupan kegiatan belajar mengajar di semua sekolah untuk tahun akademik 2019-2020 dan mempersiapkan tahun akademik yang baru pada bulan september nanti.
Diberitakan secara jelas juga bahwa semua siswa dalam masa wajib belajar (dari tingkat dasar sampai tingkat menengah) dinyatakan naik kelas atau lulus, terlepas dari nilai yang diperolehnya dalam ujian akhir. Tidak akan ada yang ulang kelas atau tidak lulus. Namun, yang masih menjadi kendala dan kini sedang dipikirkan adalah menggenai ujian yang dalam bahasa Italia disebut Ujian maturit.
Surat kabar lain seperti El Confidencial, pada tanggal 3 April 2020 mengutip dari La Stampa menyampaikan bahwa Mentri Pendidikan Italia sedang berusaha untuk mengevaluasi dan mencari solusi apa akan dilakukan terkait pelaksanaan ujian maturit jika KBM belum bisa dipulihkan sampai tanggal 18 Mei mendatang.