Lihat ke Halaman Asli

Amir

Pelajar di SMKN 2 Kediri

Cahaya di Ujung Senja

Diperbarui: 14 September 2024   09:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senja mulai turun di balik bukit, memancarkan cahaya jingga yang membakar langit. Angin sore berhembus lembut, mengusir gerah seharian. Di tepi danau kecil, dua sahabat, Raka dan Bima, duduk bersisian di atas rumput. Mereka baru saja menyelesaikan perjalanan panjang dari desa sebelah, berjalan kaki menembus hutan untuk mencari inspirasi, sebagaimana biasa mereka lakukan setiap kali hidup terasa terlalu bising.

“Apa menurutmu kita bisa tetap seperti ini selamanya?” tanya Raka sambil menatap jauh ke arah matahari yang mulai tenggelam.

Bima tersenyum tipis. “Kau takut kita akan berubah?”

“Entahlah,” Raka mengangkat bahu. “Semua hal berubah. Lihat saja, bahkan matahari juga harus tenggelam setiap harinya. Bagaimana kalau suatu hari kita tidak bisa lagi seperti ini? Aku takut suatu hari kita akan terpisah.”

Bima menunduk, memainkan batu kecil di tangannya. "Kita pasti berubah, Rak. Itu nggak bisa dihindari. Tapi bukan berarti kita akan kehilangan apa yang sudah kita punya."

Raka menghela napas panjang. “Kamu selalu bisa ngomong kayak gitu. Padahal, kenyataannya, kita semua akan punya jalan masing-masing. Mungkin kamu akan pergi ke kota besar, jadi orang sukses, sementara aku masih di sini, terjebak di desa ini.”

Bima menatap sahabatnya. “Dan apa yang salah dengan itu? Kita nggak harus sama untuk tetap bersahabat. Kamu ingat waktu kita pertama kali bertemu? Kita bahkan nggak punya kesamaan. Kamu anak kota yang baru pindah ke desa, sementara aku selalu di sini, mencangkul dan merawat ladang orang tuaku. Tapi kita tetap dekat, kan?”

Raka tersenyum kecil, mengenang masa itu. “Iya, kamu yang pertama kali ngajarin aku cara mancing di sungai belakang rumahmu. Sejak saat itu, kita nggak pernah pisah.”

“Persahabatan kita bukan cuma tentang ada di tempat yang sama, Rak. Itu soal saling mendukung, meski kita ada di tempat yang berbeda. Nanti, bahkan kalau kita jarang bertemu, kita tetap bisa saling mendoakan, tetap saling menjaga, walaupun hanya dari kejauhan.”

Raka terdiam, mencerna kata-kata itu. Mereka sudah bersama sejak kecil, melewati banyak hal bersama-sama—tertawa, menangis, hingga saling berdebat. Tapi kini, saat waktu dewasa semakin mendekat, ketakutannya semakin besar. Bagaimana jika nanti mereka tak lagi sedekat ini?

“Aku cuma nggak pengen persahabatan kita hilang begitu saja,” gumam Raka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline