Lihat ke Halaman Asli

Menimang Jokowi atau Anies? Implikasinya Terhadap Wajah Pendidikan Indonesia Lima Tahun Ke Depan

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya bukan pelaku professional dalam dunia pendidikan, tapi saya punya minat mendalam terhadap kemajuan pendidikan Indonesia. 10 tahun pengalaman di proyek-proyek pendidikan atas bantuan hibah donor dan swadaya, membuat saya banyak belajar mengenai wajah Pendidikan Indonesia dari Barat sampai ke Timur.

Tahun ini dinamika politik Indonesia sedang dalam puncaknya, ritual pemilihan umum (pemilu) 5 tahunan sudah di ambang mata. Sebentar lagi masyarakat pemilik hak pilih akan dimobilisasi atau memobilisasi diri untuk menyumbang suaranya. Praktik demokrasi untuk pembangunan yang diterjemahkan dalam wujud partisipasi warga negara dalam pemilu, memberikan konsekuensi kepada saya sebagai warga negara yang memiliki hak pilih untuk menggunakan hak pilih saya tahun ini, terutama di momentum pemilu yang lebih populer, yakni pemilihan umum presiden.

Ini kali kedua saya akan memilih di luar negeri. Dulu waktu Pak Susilo Bambang Yudhoyono-Pak Jusuf Kalla (SBY-JK) dan  Ibu Megawati Soekarno Putri-Pak Hasyim Muzadi (Mega-Hasyim) bersaing di putaran kedua kursi Pilpres di tahun 2004, saya memilih SBY-JK dari Tempat Pemilihan Suara (TPS) Ladysmith di Vancouver Island. Waktu itu, sederhana alasannya, pasangan SBY-JK lebih populer dari Mega-Hasyim, tipikal alasan pemilih pemula atas bantuan ekspose media massa (Suwardi, 2004). Kali ini, saya ingin memilih dengan alasan yang lebih mendasar, dengan pertimbangan konsep pendidikan sebagai landasan pembangunan manusia guna menggerakkan ekonomi dan peradaban masyarakat yang lebih berkelanjutan (Unesco, 2005). Alasan yang diberitakan oleh Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam sekitar 1,400 tahun yang lalu dengan hadistnya: “Solahul ummatii bil ‘ilmi wal maal”, “Sejahteranya umatku dengan Ilmu (Pendidikan) dan Harta (Ekonomi)”.

Kali ini saya menimang antara dua orang tokoh inspirasi nasional yang saya jumpai keduanya pertama kali di momen Sumpah Pemuda Jilid 2.0; Pak Anies Baswedan dan Pak Joko Widodo. Dua tokoh yang sama saya hormati dan saya pandang memberikan kontribusi positif terhadap wajah Indonesia yang lebih optimis. Ada tiga kerangka berfikir yang saya coba jadikan acuan dalam tulisan ini ketika memperbandingkan kedua tokoh yang sama saya kagumi tersebut: 1) rekam jejak kerja keduanya di isu pendidikan, 2) konsep yang ditawarkan untuk pendidikan jika mereka terpilih sebagai presiden, dan 3) peta kemungkinan dukungan politik atas kebijakan pendidikan yang mereka ajukan jika nanti terpilih jadi presiden. Tiga dasar pemikiran tersebut saya jadikan acuan prediksi wajah pendidikan Indonesia 5 tahun mendatang jika salah satu di antara keduanya jadi Presiden Republik Indonesia (RI) periode 2014-2019.

Izinkan saya bahas yang pertama; rekam jejak Pak Anies dan Pak Jokowi dalam bidang pendidikan. Rekam jejak dalam dunia pendidikan yang saya maksud saya batasi pada keterlibatan mereka di dunia pendidikan yang dampaknya pada pelayanan pendidikan yang lebih bermutu untuk masyarakat. Kata kuncinya ada pada dampak, yakni pada perbaikan mutu pendidikan. Menagapa saya titik beratkan pada mutu? Karena mutu pendidikan lah yang menjadi faktor kritis keberhasilan sistem pendidikan (Rowe, 2003; UNESCO, 2005; Worldbank, 2008). Guna memudahkan perbandingan ini, saya mengambil sampel program-program pendidikan mereka yang populis di dunia pendidikan; Kartu Jakarta Pintar, Kartu Pintar di Solo, Mobil Esemka nya Pak Jokowi, dan program Indonesia Mengajar Pak Anies Baswedan. Karena keterbatasan akses saya pada data dan statistik pendidikan yang rinci serta runut akan mutu pendidikan di tempat di mana program-program kedua tokoh tersebut dilaksanakan, yang saya sajikan sebagai indikator dampak mutu pendidikan adalah pada keberpihakan kebijakan program-program tersebut terhadap perbaikan kualitas belajar-mengajar, dengan melihat sasaran utama programnya. Sekarang, mari kita perbandingkan rekam jejak keterlibatan Pak Jokowi dan Pak Anies lewat program-program yang disebut di awal paragraf ini guna menjawab terciptanya mutu pendidikan yang berpihak pada peningkatan kualitas belajar mengajar. Kartu Jakarta Pintar, Kartu Pintar Solo bukti bahwa pak Jokowi berpihak untuk membantu peserta didik lebih mampu untuk sekolah. Pemerintah daerah mengambil tanggung jawab subsidi pendidikan guna membantu siswa tetap punya biaya sekolah sampai bahkan jenjang perguruan tinggi. Sasaran utama program ini ada pada penyediaan akses pendidikan. Sementara program mobil Esemka berusaha mendorong daya saing produk pendidikan keterampilan. Program-program yang menurut saya sangat positif, tapi pertanyaan mengenai kaitan keberpihakan program-program ini dengan peningkatan mutu pendidikan belum terjawab. Nah, bagaimana dengan program Indonesia Mengajar yang digagas dan disebarkan oleh Pak Anies? Program ini hadir dengan penekanan pada penyediaan guru (akses) yang berkualitas (kualitas) untuk daerah-daerah pedalaman Indonesia. Anak-anak muda usia di bawah 25 tahun yang berlatar belakang guru dan bukan guru (partisipasi masyarakat) diberikan kesempatan untuk menjadi Pengajar Muda. Sebelum para Pengajar Muda ini  diterjunkan ke lapangan, mereka disaring dan dilatih secara professional tentang kemampuan pedagogis dan kepemimpinan sebagai seorang guru. Jadi, program ini menyediakan guru yang berkualitas, guna membantu siswa-siswa di daerah kurang beruntung untuk mengenyam proses belajar mengajar yang lebih berkualitas. Lalu, apakah sasaran utama program ini ada konsekuensi  logisnya terhadap peningkatan kualitas belajar mengajar? Anda tentu bisa menarik kesimpulan logisnya dengan metode hipotetis deduktif bukan? Lebih jauh lagi, fakta bahwa ada banyak cerita anak muda yang berlatar belakang bukan guru dan sudah memilik profesi yang mapan secara ekonomi namun memutuskan menjadi Pengajar Muda memberikan indikasi bahwa pentingnya pendidikan menjadi value di masyarakat. Ini adalah salah satu indikasi lagi yang berhubungan erat dengan kesinambungan usaha peningkatan mutu pendidikan. Kesimpulan sementaranya, jika Pak Jokowi yang jadi presiden dan kemudian meneruskan program kartu pintar Indonesia atau program keterampilan produktif sejenis mobil Esemka, akan lebih banyak anak-anak Indonesia yang bersekolah dan terdorong untuk memunculkan produksi-produksi andalan dalam negeri. Akan tetapi, jika Pak Anies yang jadi presiden dan kemudian meneruskan program seperti Indonesia Mengajar, maka Indonesia bukan hanya akan memiliki lebih banyak anak-anak yang mau sekolah karena gurunya terampil, cerdas dan kreatif, tapi juga akan lebih banyak anak-anak, guru dan masyarakat yang memandang pendidikan sebagai nilai (value) penting. Karenanya, bukan tidak mungkin akan muncul inovasi-inovasi belajar dan produk-produk pembelajaran yang terinstitusionalisasi secara nasional, bahkan internasional.

Kedua, mari kita perbandingkan cetak biru program pendidikan yang diusung oleh kedua tokoh tersebut sebagai calon presiden. Berhubung Pak Jokowi baru saja dideklarasikan dan mendeklarasikan diri sebagai calon presiden, saya belum bisa mengakses program yang beliau akan tawarkan untuk pendidikan jika menjadi presiden. Pak Anies yang memang lebih dahulu mendeklarasikan diri siap sebagai calon presiden dari konvensi partai demokrat sudah mengusulkan Program Indonesia 1945; satu semangat, 9 pekerjaan, 4 janji kemerdekaan dan dalam 5 tahun (http://chirpstory.com/li/188826). Khusus tentang pendidikan, beliau ulas ini di bagian 5 dari 9 pekerjaan yang diusung pada Program Indonesia 1945 ini. Pada bagian pekerjaan ke 5 butir a berbunyi “Meningkatkan kualitas guru dan merekrut putra-putri terbaik menjadi guru”. Fakta bahwa soal guru dan merekrut guru berkualitas sebagai butir a, memunculkan pesan kuat keberpihakan Pak Anies terhadap isu kualitas guru dan kualitas pendidikan. Ken Rowe dalam jurnal penelitian berjudul The Importance of Teacher Quality As Key Determinant of Students’ Experiences and Student Outcomes menjelaskan bahwa apapun program pendidikan yang diusung, tanpa kualitas guru yang baik, maka pengalaman belajar dan hasil belajar siswa tidak akan maksimal (Rowe, 2003). Saya sering dilibatkan dengan inovasi-inovasi pendidikan yang ditawarkan oleh lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah mulai dari ujung Aceh sampai pedalaman Papua, kunci keberhasilannya ada pada guru yang berkualitas. Dedikasi sebagai guru saja belum cukup untuk mendongkrak kualitas pendidikan, tapi guru yang berdedikasi dan punya keterampilan berinovasi menjadi kunci utama untuk keberlanjutan proses belajar mengajar yang menyenangkan, mendorong berfikir dan berkarya secara kritis dan kreatif. Pak Anies jelas melihat ini secara mendalam lewat point ke 5 bagian a tersebut, dan kemudian melanjutkan dengan bagian b yang menekankan kepemimpinan kepala sekolah. Guru yang berkualitas dan berdedikasi benar, jika tidak didukung kepala sekolah yang cakap juga akan timpang dan terseok-seok. Banyak juga saya kenal guru yang sangat inspiratif dan bahkan inovatif justru menjadi ‘musuh bersama’ sebab kurang cakapnya kepemimpinan kepala sekolah. Selanjutnya ada butir c sampai dengan j pada cetak biru bagian ke 5 dari 9 pekerjaan Indonesia 1945 ini yang mencakup isu SMK atau sekolah vokasional (butir c), akses sekolah (butir d) dan biaya pendidikan (butir e), universitas berbasis riset (butir f), brain gain (butir g), akuntabilitas sekolah atas kinerja pendidikan siswa (butir h),  birokrasi pendidikan sebagai agenda utama reformasi birokrasi (butir i) dan pembangunan center of excellence di daerah (butir j)Jadi, ini menambah keyakinan saya, bahwa Pak Anies tidak mencomot konsep ini dari ilham yang entah datang dari mana, tapi dari buah berfikir benar berdasarkan realita pendidikan di Indonesia. Karena itu, kesimpulan untuk argument ke 2 yang berfokus pada perbandingan cetak biru program pendidikan yang ditawarkan antara Pak Jokowi dan Pak Anies sebagai capres belum bisa diperbandingkan. Akan tetapi semisal jika nantinya Pak Jokowi sudah punya cetak birunya, Program Indonesia 1945 yang ditawarkan Pak Anies sungguh menyediakan komponen pendidikan yang komprehensif, tepat sasaran serta relevan dengan kebutuhan pendidikan Indonesia.

Ketiga, mari kita perbandingkan bagaimana bisa program kerja Pak Anies dan Pak Jokowi ini nantinya dilaksanakan dengan realita dukungan politik yang kemungkinan besar akan didapatkan oleh masing-masing calon ini. Pak Jokowi mendapatkan dukungan penuh dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Bahkan ketua umumnya menuliskan sendiri dengan tulisan tangannya apa yang dia sebut sebagai 3 butir surat perintah untuk rakyat Indonesia pada Maret 2014 ini sebagai modal dukungan politik yang kuat untuk Pak Jokowi. Konsekuensi logisnya kebijakan pemerintahan Pak Jokowi -dalam sitem parlementer yang kita anut- sebagai presiden terpilih akan lebih mudah dilaksanakan. Ini karena dukungan partai politiknya di lembaga penyetuju anggaran dan undang-undang yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah tersedia. Sementara Pak Anies Baswedan yang maju sebagai calon presiden dari konvensi Partai Demokrat masih harus bersaing dengan 10 kandidat lain dari Partai berlambang Mercy tersebut. Artinya, Pak Jokowi kemungkinan satu langkah lebih diuntungkan dari pada Pak Anies soal ini. Akan tetapi, asumsi di atas masih sangat dinamis. Itu asumsi setelah hasil pemilihan legislatif menjelaskan komposisi kursi DPR. Saat ini, keduanya masih bersaing dengan status bakal calon presiden. Dan keduanya masih berjuang mendapatkan suara. Kenyataan bahwa PDIP dan Pak Jokowi yang mengusung JKW4P sebagai lambang kampanye, memberi kesan bahwa PDIP memandang penting mencari simbol untuk meraih dukungan suara anak muda. Ini karena simbol seperti JKW4P adalah simbol-simbol yang biasa dipakai di tagar twitter atau gambar profil jejaring sosial semacam facebook, whatsap, blackberry messenger, dan lain lain, yang mayoritas dihuni oleh anak muda. Artinya, PDIP secara sadar mensimbolkan bahwa dukungan politik anak muda penting dan menentukan. Partai politik digunakan sebagai motor dan syarat administratif keikutsertaan dalam pemilihan presiden, dan keikutsertaan anak muda dalam pemilu sebagai dukungan politik adalah dua hal yang saling mendukung. Oleh karena itu, Pak Anies Baswedan yang lebih dahulu menggunakan tagar turun tangan memiliki probabilitas yang sama dengan Pak Jokowi soal dukungan pemilih muda. Saya mungkin agak bias dalam menyuarakan poin ketiga ini, tapi saya yakin bahwa sejatinya dukungan politik masyarakat pada alam demokrasi modern ini bisa terjadi karena dukungan partai poltik dan masyarakat luas, bukan hanya salah satunya. Masyarakat luas yang saya maksud dalam sejarah pembangunan sudah terbukti adalah kalangan muda terdidik. Lihat saja peristiwa Budi Utomo 1901, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945 dengan pemuda Rengas Dengklok dan terakhir Reformasi ’98, semuanya ada unsur anak muda terdidik di sana.

Simpulan saya sementara, bahwa wajah pendidikan Indonesia 5 tahun ke depan masih akan lebih menjanjikan jika Indonesia dipimpin oleh Pak Anies Baswedan. Pertama karena rekam jejaknya di Program Indonesia Mengajar lebih menjawab esensi bagaimana meningkatkan mutu pendidikan, dibandingkan dengan Kartu Jakarta Pintar, Kartu Pintar Solo dan mobil Esemka nya Pak Jokowi yang masih bergulat di persoalan penyediaan akses bersekolah. Kedua, cetak biru Progam Indonesia 1945 Pak Anies Baswedan lagi-lagi menjawab kepentingan perbaikan mutu pendidikan dengan fokus yang komprhensif. Sementara untuk pak Jokowi, kita masih mendoakan dan menunggu bagaimana cetak biru program pendidikan Pak Jokowi bisa menjawab esensi kebutuhan peningkatan mutu pendidikan yang berpusat pada manusianya, bukan sekedar infrastrukturnya. Ketiga, dukungan politik partai politik dan masyarakat masih pada kondisi yang sangat dinamis. Sehingga dasar untuk menyimpulkan dukungan politik per hari ini belum bisa menjawab apakah Pak Jokowi atau Pak Anies lebih berkesempatan melaksanakan program kerjanya nanti jika terpilih jadi Presiden RI.

Akan tetapi, seperti yang saya gariskan di awal-awal tulisan saya, kedua tokoh ini adalah orang-orang muda Indonesia yang rekam jejak dan visinya luar biasa. Jangan sampai salah satu dari mereka kita jadikan domba yang diadu dalam panggung politik yang kotor dengan kampanye negatif tak berdasar. Saya memang lebih melihat Pak Anies sebagai tokoh yang lebih ideal sebagai presiden ke depannya, tapi bukan berarti saya melihat bahwa Pak Jokowi harus kita musuhi dan jatuhkan, atau bahkan sebaliknya. Mari berdiskusi dan berargumentasi pada tataran konsep yang kritis dan objektif, bukan bias emosional apalagi berunsur diskriminas Suku, Agama, Ras dan Antar golongan.

Tabik

Pria Santri Beringin

Mahasiswa paska sarjana jurusan pendidikan dan pembangunan internasional di University of New South Wales, Sydney, Australia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline