Mengapa Sedikit Sekali Kompasianer yang Menulis Pantun di Kompasiana?
Biasanya kanal fiksi ramai diisi tulisan tentang puisi, cerpen, dan novel. Lho, pantunnya ke mana? Padahal pantun juga bagian dari karya sastra bangsa Indonesia sendiri, kan?
Di Kompasiana, aku saksikan postingan-postingan tentang pantun hanya muncul sesekali saja, tepatnya ketika peringatan Hari-hari Besar tiba.
Para Kompasianer yang cukup sering menghadirkan pantun hanya ada beberapa orang. Ada Pak Rustian Ansori, Pak Nugroho, Pak Thamrin Dahlan, dan Bang Ozy. Ups, yang terakhir itu namaku.
Sedangkan Pak Rudy dan Prof. Felix? Aih. Mereka sibuk bermain risak-risakan, lempar-lemparan artikel humor sampai-sampai isi perut kita terasa bocor.
Padahal dalam karya sastra yang bernama pantun juga ada humornya, kan? Nah, tepatnya pantun jenaka. Kehadiran pantun jenaka tiada lain adalah untuk menghibur, menyindir, serta membahagiakan siapa saja yang membaca dan mendengarkannya.
Bahkan, di SD tempatku mengajar, anak-anak di sana memiliki banyak koleksi pantun jenaka guna menyindir teman serta membuat suasana kelas jadi riuh. Kebanyakan dari mereka bermain pantun 2 baris, tapi tidak sedikit pula siswaku yang lancar berpantun 4 baris.
Maka dari itulah, aku sarankan kepada para Kners Bahari seperti Pak Rudy dan Prof Felix untuk sesekali berkirim pantun di Kompasiana. Siapa tahu nanti Bang Gui akan terbangun bersama tumbuhan porang dan kakartana.
Dibandingkan puisi, cerpen, atau malah artikel biasa, rasa-rasa menulis pantun boleh dibilang cukup mudah.
Dalam pantun kita bisa menyelipkan segenap untai rasa cinta, senang, sedih, duka, nasihat, adat, bahkan perasaan benci yang saat ini telah berubah menjadi sayang. Aku coba sajikan contoh sebait pantun jenaka , ya:
Aduhai elok berjalan kaki berdua
Tapi jangan sanding terlalu rapat
Aduhai elok Pak Rudy berbini tua
Perut jadi kenyang ajaran pun dapat