Sudah sejak lama ini, aku menyimpan lazuardi di permadani renjana. Aku tak kuat, tak kuasa jika berkaca sendiri dan membayangkanmu sedang merona.
Temaram rasanya. Masa iya, aku harus mendekap seorang diri di singgahsana.
Sewindu lebih setengah, kira-kira sudah selama itu mengedip lara. Takkan kuakui, sungguh. Bukannya kumuak tapi kubosan bersinar putih sendiri.
Di hati, aku punya lazuardi. Masa iya, harus kukebat dengan lara.
Apa nanti kata surya saat kuberpaling
Apa pula nanti kata bulan jika setiap malam kuharus tidur cepat
Jika kau akan tiba lebih cepat sebelum aku sampai di depan halaman dasawarsa. Kuberi tahu, aku menunggu di pelabuhan senja.
Di seberangnya ada ember yang berisikan pasir-pasir asmara, sengaja kutampung untuk kita bermain di pondok tua. Kupegang pasir, kau pegang batu. Pasir dan batu menyatu, dan kupegang tanganmu.
Aku menantikan itu. Sudah, jangan terlalu lama. Nanti senja hilang. Aku tak kuat menyimpannya lama-lama. Ini selaksa rindu.
*pernah tayang di gurupenyemangat.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H