Semua berawal dari kesukaanku terhadap warna biru, tepatnya saat aku mulai duduk di bangku kuliah. Dan gegara aku sering diajak oleh temanku untuk bermain PES dan Winning Eleven, akhirnya aku "naksir" dengan Inter Milan.
Sejujurnya sejak kecil aku tak terlalu senang nonton bola. Main bola pun kadang-kadang, dan aku lebih suka bermain bola sepak plastik karena ringan, tidak sakit jika terkena badan, serta mudah untuk dibelokkan arahnya.
Bahkan, aku malah baru mulai cukup rajin nonton bola pada gelaran Indonesian Super League (ISL) musim 2011-2012. Tahun itu adalah tahun perdana kami memasang parabola. Seingatku begitu, karena sebelumnya kami hanya memasang antena UHF.
Lucunya, klub bola yang sering kutonton malah Sriwijaya FC, bukan Internazionale Milano. Para pemain utama SFC seperti Keith Kayamba Gumbs, Firman Utina, M. Ridwan, hingga Lim Jun Sik kemudian menjadi daya tarik tersendiri bagiku.
Namun, hari demi hari berlalu, akhirnya tibalah suatu waktu di mana aku mengenal Inter Milan.
Waktu itu masih tahun 2012, aku menonton berita olahraga dan kulihat aksi apik Diego Milito yang menjadi Man Of The Match (MOTM) sekaligus menyumbang 2 gol pada final Liga Champion kontra Bayern Munich pada tahun 2010.
Aku terkesan dengan penampilan Diego bersama Nerazzurri yang kala itu dilatih oleh The Special One Jose Mourinho. Meski begitu, secara khusus aku malah menyukai warna jersey Inter yang mengusung warna biru hitam.
Bagiku, warna biru pada jersey Inter Milan yang mewakili langit terlihat terang dan nyaman di pandang oleh mataku. Perpaduan terangnya warna biru tersebut jadi seimbang karena ada warna hitam yang mewakili malam.
Gara-gara warna jersey itu pula akhirnya aku sering menggunakan klub Inter Milan ketika bermain Play Station 2, Winning Eleven, hingga PES 2013-PES 2019.