Aroma bicaramu sudah berbeda. Bayang-bayang kalbu yang kemarin sehaluan kini sudah enggan sepemahaman. Masa lalu kita jadi kuno. Hari ini ramai tapi aku kesepian.
Lihatlah pasar itu lalu berbaliklah kepadaku. Semua terlihat sama. Dari kaki langit hingga telapak benua kita masih sama-sama seiris rasa.
Meski dimaki-maki gemerlap dusta, engkau tetap menjadi matahari pagi. Tidak kalah dengan senja. Hatimu ramai.
Di sebelah singsing fajar aku menatapmu. Bersama kesepian yang berteriak mendekati toa masjid, aku mendekat kepada keramaian.
Bosan aku melihat bayangan bulan di atas air. Kemarin membulat, hari ini menyabit. Sedangkan ramaimu tidak pernah sehancur itu.
Pada kesepian ini, aku mencoba menjadi rintik-rintik sederhana yang menyapamu. Aku enggan tinggal sendirian di lembah yang batunya mulai rapuh. Di sana gelap. Nanti sepiku rimpuh.
Aku sungguh masih bingung.
Sebenarnya ramainya dirimu adalah puncak kesepianku, atau ramainya kita adalah kesepian?
Curup, 24 April 2021