Ketika kita berkisah tentang visi, mimpi, dan hidup, maka sandaran yang biasanya dipakai untuk meracik kesuksesannya adalah formula "SMART".
Dengan formula Specific, Measurable, Achievable, Relevant, dan Timely, kita bisa meracik sebuah tujuan agar mimpi-mimpi yang kemarin dihadirkan tidak lenyap atau malah "numpang lewat"sebagai angan.
Tidak jauh berbeda, dalam dunia pembelajaran juga begitu. Ketika proses belajar-mengajar berlangsung, baik guru maupun siswa harus sama-sama memiliki tujuan yang jelas.
Semisal, tujuan guru masuk kelas untuk apa, apakah sekadar cek presensi, duduk manis, lalu memberi tugas, atau malah berhasrat tinggi memasukkan insight dunia ke dalam kelas.
Siswa juga demikian. Siswa datang ke kelas tatap muka maupun kelas daring tujuannya apa, apakah hanya sekadar berjumpa teman sebaya, sekadar mendapat uang jajan, atau malah menggaungkan hasrat yang tinggi agar hidupnya lebih baik daripada hari ini.
Meski kedua pemeran utama dalam skenario pembelajaran ini memiliki tujuan, tetap saja siswa hanyalah anak-anak. Alhasil, wajar bila kemudian manajemen tujuan siswa terkesan "amburadul" alias tak tentu arah. Maka dari itulah, sebagai suksesor pembelajaran, guru wajib mengarahkan.
Secara tersurat, arahan tersebut sebenarnya sudah tertuang dalam RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) pada poin tujuan. Hanya saja, kalau kita mengecek lagi secara seksama, tidak jarang ditemukan indikator-indikator tujuan belajar yang sifatnya mengambang.
Nah, ada kisah lama yang masih kuingat dari mulai kuliah hinggalah hari ini. Ya, adalah penegasan dari dosenku yang mengutarakan bahwa jangan menaruh indikator tujuan pembelajaran yang sulit diukur dalam RPP.
Contohnya? Siswa diharapkan mampu memahami materi pelajaran A. Atau, siswa mampu menerima materi B. Bukankah kata "memahami" dan "menerima" rawan susah untuk diukur?
Sama halnya seperti guru yang menyampaikan tujuan pembelajaran di kelas dan mengharapkan bahwa para siswa mampu memahami materi A. Pernyataannya adalah, bagaimana cara mengukur pemahaman? Bukankah kita butuh beberapa indikator untuk merengkuh sebuah pemahaman?
Akhirnya, kita sandingkan lagi kepada tujuan hidup. Kalau hidup ini tujuannya kurang rinci dan menggunakan kata-kata yang susah diukur seperti "memahami kamu apa adanya", "menerima kamu apa adanya", rasanya tujuan yang dimaksud bakal buyar dan membingungkan.