Entah bagaimana kabar langit. Barangkali segenap awan masih rela menebal dan menutupi. Langit biru, langit ungu, langit jingga, juga langit merah. Berseliweran hampiri mata. Kagum kepada ciptaan-Nya.
"Masya Allah, begitu indah, Ya Allah!"
Seluruh penduduk langit tiada henti bertasbih dan berzikir kepada-Nya. Shalawat pun dilantunkan dengan penuh keridaan. Para penduduk langit bahkan mendatangi majelis zikir.
"Di manakah aku saat itu?"
Bertanya kepada diri. Kisahnya adalah entah bagaimana kabar bumi. Barangkali segenap tanah masih rela untuk dipijaki. Apalagi sepetak rumput yang rimpuh. Entah teringat entah tidak mata ini memandang. Rumput malah rela terbasah oleh keringat.
Semestinya diri bersaing dengan para penduduk langit. Walaupun tiada mungkin terbebas dari debu-debu hitam. Biarpun tiada tahu niat tulus atau kambing hitam.
"Pilihlah, diri adalah pejuang langit atau pejuang bumi!"
Benar. Terang. Bumi adalah tempat singgah. Segelas air zam-zama yang terteguk belum tentu sampai menuju lambung. Begitu perumpamaan usia.
Para pejuang langit. Begitulah jalan diri. Kalau ingin dicinta penduduk langit, jangan ingat bumi. Kalau ingin dicinta penduduk bumi, harus ingat langit.
Sekali lagi. Berkali-kali. Diri ikut berjuang, bersama para pejuang langit. Carilah senja. Kabarkan kepada malam, bahwa diri ingin bertaubat saban hari.