"Bunda..... Malin izin pergi merantau ke kota, ya?"
"Tunggu, duhai anakku. Tunggu sebentar!"
Malin ingin merantau ke kota. Ia sudah bosan hidup melarat bersama Bundanya di desa terpencil. Sekarang cari ikan sudah susah. Air laut sudah semakin keruh. Apalagi kalau Malin sudah melihat tingginya ombak laut. Rasa-rasanya ia tak punya nyali untuk kembali berlayar.
Niat merantau ini sebenarnya sudah ingin diwujudkan oleh Malin sejak beberapa bulan lalu. Namun, berkali-kali pemuda ini memohon, berkali-kali pula Bundanya menolak. Sang Bunda belum sanggup hidup seorang diri karena sampai saat ini hanya Malinlah pendamping sepinya.
***
"Ini, anakku. Bunda ada sedikit tabungan untuk bekal perjalananmu," tutur Bunda sembari memberikan beberapa lembar uang kertas nominal sepuluh ribuan.
"Tak perlu, Bunda. Malin sudah besar, Malin bisa tangkap ikan di tengah laut, Malin juga bisa menjualnya nanti di pelabuhan."
Malin menolak pemberian uang dari Bundanya. Meski begitu, Sang Bunda tetap memaksa dan menyelipkan tabungan yang tidak seberapa itu ke dalam saku celana anaknya. Syahdan, petualangan Malin untuk merantau ke kota pun dimulai.
Malin hanya punya perahu reot. Mau tidak mau, itulah satu-satu perahu yang bisa ia pakai untuk berlayar. Bisik hatinya, semoga saja nanti di tengah laut tidak ada badai yang akan menyusahkan hidupnya. Bisikan ini terus ia gaungkan selama 3 hari 3 malam pelayaran.
***