Lihat ke Halaman Asli

Ozy V. Alandika

TERVERIFIKASI

Guru, Blogger

Buru-buru Ganti Kurikulum, Lalu Pendidikan Kita Jadi Rawan "Nyungsep"

Diperbarui: 9 September 2020   22:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Ozy V. Alandika

Si Ojan datang ke pesta pernikahan temannya. Ojan merasa kurang ganteng di hari itu sehingga ia buru-buru pulang demi ganti baju. Baju warna biru coba dipakai, tiba-tiba 10 menit lagi baju itu terasa kurang cocok, kemudian diganti lagi.

Alhasil, Ojan jadi repot karena harus menyisir kembali rambutnya biar mulus. Parfumnya juga hampir habis, dan ia malah datang dengan baju baru yang kusut. Untuk 1 pesta saja, Ojan begitu meribetkan dirinya.

Padahal, derajat kegantengan seorang pria tak melulu dilihat dari baju maupun warnanya. Si pengundang malah lebih bahagia bila Ojan bisa datang lebih cepat, tentu tidak dengan baju yang kusut. Beruntung si Ojan tidak nyungsep di tengah jalan karena sedang buru-buru.

*

Beginilah bayangan saya ketika menatap kurikulum yang terbalut dalam sistem pendidikan di Indonesia. Kurikulum hari ini mempunyai kemiripan dengan "ulah" si Ojan yang suka buru-buru ganti baju. Kurikulumnya keren tapi setengah semrawut, sama halnya dengan baju baru tapi kusut.

Kita akui, nama kurikulumnya mungkin keren.

Sebut saja seperti Kurikulum CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), hingga Kurikulum 2013 dengan konsep 4C (Communication, Collaborative, Critical Thinking, dan Creativity). Tapi, ini seperti merek baju, kan?

Ketika Emak-emak ingin membeli baju dengan merek tertentu, sandaran pikir mereka ialah bagaimana caranya agar baju tersebut bisa tahan lama ketika dipakai. Warnanya tidak mudah luntur tergerus air, tidak mudah koyak, juga tidak terlalu norak.

Namun, ketika yang beli baju baru bukan para Emak, terkadang sang pembeli hanya menyandarkan merek sebagai dalih bahwa produk ini begitu fashionable dan bisa dibanggakan. Meskipun hanya dipakai dalam jangka waktu tertentu (sebelum rusak, ganti lagi yang baru).

Tak berbeda jauh, kurikulum yang kita pegang hari ini juga begitu. Sebagai salah satu "bajunya" sistem pendidikan, pandangan kurikulum kita seakan diarahkan kepada tren "merek" dari kurikulum itu sendiri.

Seringnya kurikulum berganti nama serasa menjelaskan kepada publik bahwa seperangkat mata pelajaran dalam sistem pendidikan Indonesia ingin tampil baru dan bersandar pada mode "fashionable". Padahal esensinya? Masih jauh! Padahal implementasinya? Juga masih jauh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline