Lihat ke Halaman Asli

Ozy V. Alandika

TERVERIFIKASI

Guru, Blogger

Dear Myself, Jangan Terbang karena Pujian, Jangan Tenggelam karena Hinaan

Diperbarui: 24 Agustus 2020   20:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay 

"Ternyata, hidup itu memang menghasilkan beragam rasa, ya!"

Tidak melulu bisa ditebak, begitulah hidup dan jalan kehidupan. Ketika hidup ini mau kita ungkap dengan rasa, maka muncullah bermacam-macam rasa berikut dengan detail-detailnya.

Ada rasa senang, ada rasa sedih. Ada rasa suka, ada duka. Tapi, beragam perasaan itu tidak selalu sama antara orang yang satu dengan yang lainnya. Rasa itu mungkin sama, ketika orang-orang sudah memploklamirkan ungkapan "sama rasa."

Maka dari itulah muncul berbagai ungkapan tentang rasa seperti senang melihat orang bahagia, senang melihat orang susah, sedih melihat orang sedih, serta sedih melihat orang senang. Wajar, kan? Tentu saja, isi hati manusia siapa yang tahu! Kecuali? Hanya Tuhan semata.

Kemudian, seiring dengan bergantinya hari di kalender kehidupan, masing-masing dari kita mulai berpikir untuk menata hidup yang lebih baik. Berpijak dengan berbagai rasa tadi, ada dari kita yang semangat untuk bersekolah, semangat untuk bekerja, dan semangat untuk berbahagia.

Hanya saja, yang namanya semangat tidaklah seteguh dan sekuat itu. Pengaruh dari ungkapan rasa yang dilemparkan oleh orang-orang di sekitar kita adalah penyebabnya.

Karena kita tidak sendirian dalam hidup, kan? Begitulah. Semangat seringkali digerus oleh dua sikap yang datangnya dari myself maupun orang lain. Sikap pertama adalah pujian, dan sikap kedua adalah hinaan.

Kenyataannya, jika pujian maupun hinaan itu datangnya dari diri sendiri, mungkin hati ini tidak akan merespon secara berlebihan. Maklum, kitalah yang lebih tahu tentang diri kita sendiri, dan orang lain banyak yang sekadar "tebak-tebak" tentang seperti apa sesungguhnya diri ini.

Alhasil, sikap sekadar "tebak-tebak" rasa dari orang lain inilah yang kemudian bisa membahayakan kita. Lha, kok bahaya?

Tentu saja. Sudah berapa banyak orang-orang yang tergila-gila karena makan nasi berlaukkan pujian. Sudah berapa banyak orang-orang yang susah move on gara-gara terus "bermandikan" hinaan. Ini mengerikan, apalagi kalau kita terlalu baperan.

Dear Myself, Jangan Terbang karena Pujian

Gambar oleh jacqueline macou dari Pixabay 

Bagaimana rasanya makan pujian, apakah enak? Bagi hati, mungkin enak, ya. Enak banget malahan! Hanya saja, pujian itu mirip seperti angin. Mau kita makan dan kita tampung sebanyak apapun, ujung-ujungnnya kita tidak akan pernah kenyang. Meletus iya!

Tapi, beda halnya bila myself alias diri ini bisa memanajemen pujian dari orang lain secara "kreatif." Maksudnya? Ya, hembusan angin tidak selalu merugikan kita, kan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline