Selama berlabuh di dunia pendidikan, tidak sedikit dari kita yang terus berteman dengan mindset "Ganti Menteri, Ganti Kurikulum". Perihal ini sulit dimungkiri, karena faktanya kurikulum pendidikan kita sudah 10 kali berganti.
Mulai dari kurikulum 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, KBK 2004, KTSP 2006, dan terakhir kurikulum 2013.
Sebenarnya jika dihitung lebih detail, kurikulum 2013 juga sudah upgrade menjadi kurikulum 2015 dengan nuansa wawasan global, kolaborasi dari KTSP dan Kurikulum 2013. Tapi, agaknya sebutan kurikulum 2013 berbasis karakter lebih sedap untuk didengar.
Jika pergantian kurikulum kita ditambah 2, maka nilainya akan sama dengan masa pergantian kurikulum di Finlandia. Terang saja, Finlandia mengganti kurikulum setiap 12 tahun sekali, sedangkan kita? Hampir 12 kali ganti.
Karena sudah keseringan ganti, akhirnya lahirlah pola pikir bahwa pemakaian kurikulum tergantung menteri. Menteri maunya ubah, maka berubah. Kadang, kita bingung dengan keadaan ini. Sebenarnya, yang ingin populer itu kurikulum atau menterinya?
Terang saja, pengubahan kurikulum yang semestinya mengajak para orangtua, guru, kepala sekolah, pembuat undang-undang, pakar pendidikan, hingga pihak kementerian untuk bermusyawarah malah disederhanakan menjadi keinginan menteri atau presiden semata.
Hal ini seakan menjadi praduga bahwa pendidikan seperti dipolitisasikan, sedangkan guru dan kepala sekolah hanya dijadikan alat untuk mendidik. Sederhana sekali agaknya, karakter sudah seperti mesin fotocopy saja!
Belum selesai di sana, yang jadi pertanyaan adalah mengapa perubahan-perubahan kecil mesti didaulat sebagai kurikulum yang berganti nama. Padahal jika ditelusuri lebih dalam, pengubahan kurikulum itu tidak lebih dari sekadar ubah format dan selip nilai.
Contohnya, nama Kurikulum 2015 yang sempat populer. Entah mengapa namanya harus populer sebagai K-2015 padahal isinya masih seputar penyempurnaan K-2013. Bahkan, UN tahun 2015 masih menggunakan K-2006 sehingga menjadikan K-2013 bernuansa KTSP .
Nah, jika seperti ini maka judulnya bukan "ganti nama" kan? Mestinya sebut saja Tata Ulang Kurikulum atau Penguatan Kurikulum. Ini lebih sederhana, tetap populer dan tidak melahirkan stigma.
Mas Nadiem, Kami Ingin Kurikulum yang Tidak Sekadar Ganti Nama!