Lihat ke Halaman Asli

Ozy V. Alandika

TERVERIFIKASI

Guru, Blogger

Standardisasi Bahagia, Adakah?

Diperbarui: 5 Desember 2019   09:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Kebahagiaan. (Sumber: pixabay.com)

Kita sudah bahagia hari ini?

Bisa jadi ada yang sudah, ada yang sedang, ada yang telah, ada yang pura-pura, ada yang terpaksa, dan ada yang sudah terlewat bahagianya. Secara umum, tidak ada standar dan ukuran khusus tentang kebahagiaan karena itu persoalan diri.

Walau demikian, tampaknya beberapa orang lebih memandang bahagia itu dari apa yang tampak dan didapat oleh lain. Tetangga misalnya, punya harta bergelimang, warisan, rumah mewah, punya jabatan, dan banyak anak. Bahagia memang, tapi apakah mungkin kita mau memaksa diri hingga encok tulang ini untuk sama dengan tetangga?

Misalnya lagi tentang pemilik rumah makan yang sedang bahagia. Bagaimana tidak, pengunjungnya ramai, letaknya strategis di keramaian, makanannya enak, pekerjanya banyak, dan anak-anaknya sudah sekolah di perguruan tinggi semua. Bahagia memang, tapi apakah kita harus ikut-ikutan buka rumah makan? Boleh saja sih kalau mau. Hihihi

Dari sini, berarti bahagia tidak tentang orang lain, tidak tentang apa yang dimiliki orang lain lalu kita harus dapat juga, dan tidak tentang apa yang kita lihat terhadap orang lain bukan? Tentu saja.

Begitupun dengan orang lain. Kadang, orang lain menebak kita sedang bahagia karena suatu keberhasilan yang kita dapatkan lebih dulu. 

Tapi kemudian kita bertanya-tanya, apakah orang itu berusaha menguatkan hatinya dan memberikan kita apresiasi, atau hanya dalih dari kekecewaan mereka? Oalah, mengusik dasar penyematan bahagia dari orang lain lagi kan!

Bahagia dan Penderitaan Orang Lain

Bagaimana dengan bahagia di atas penderitaan orang lain?

Kasus 1:

Ada orang yang sangat bahagia ketika bertemu dan bersalaman dengan presiden. Bahkan, kebahagiaan itu bisa bertambah jika presiden mau sedikit meluangkan waktu untuk bercengkramah dengannya.

Kasus 2:

Ada orang yang tampak bahagia ketika didatangi oleh presiden hingga senyumnya melebar dan merona. Namun, setelah presiden bergegas pergi dan menjauh dari rakyat walau cuma 5 meter saja, ia sudah mengumpat ini menghina itu, mencari kesalahan ini dan itu, serta ungkit-ungkit tentang masa lalu yang lebih bahagia.

Dari kasus 1, kebahagiaan itu dekat dengan kekaguman. Mungkin ada kesan yang tertinggal, atau ada jasa-jasa yang membekas. Namun agaknya bahagia seperti ini malah terlalu sederhana. Jika tidak kenal, tidak berjasa, dan tidak kagum, bahagia tidak akan bertamu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline