Lihat ke Halaman Asli

Ozy V. Alandika

TERVERIFIKASI

Guru, Blogger

Jangan Ada "Anu-Anu" dalam Berbuat Baik

Diperbarui: 9 Oktober 2019   19:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Kebaikan. Gambar dari Renebigelow/Pixabay.com

Semua orang pasti suka melihat orang baik, tapi tidak semua orang itu baik. Semua orang bisa saja selalu berbuat baik, tetapi tidak semua orang "mampu" melakukannya. Semua orang bisa saja selalu menebarkan kebaikan, tetapi tidak semua orang bisa menangkap kebaikan itu dan menjadikannya biang dari perubahan diri.

Berbuat baik dalam ukuran akal manusia akan menimbulkan beragam sudut pandang. Terang saja, akal manusia yang tak luput dari keterbatasan seringkali disenggol-senggol dan tertumpuk oleh perasaan. Dari sana timbullah "anu-anu" dalam berbuat baik.

Disebut "anu", karena alasan berbuat baik seringkali tidak mau dikatakan oleh seseorang. Seakan-akan alasan berbuat baik itu tidak bernama, terlupa, dan tidak diketahui namanya. Padahal, hati mereka sendiri yang menyembunyikannya.

Walaupun sejatinya hakikat kebaikan adalah berbuat baik tanpa ada anunya, tetap saja tidak banyak orang yang bisa mencapai makna kebaikan hingga tingkat "hakikat". Darinya, kebaikan yang murni mulai tergusur dengan perasaan dan emosi berlebihan.

Meski datangnya perasaan dan emosi itu hanya sesaat, nyatanya hal-hal yang seperti itulah yang akan melahirkan perbuatan baik dan hanya karena ada 'anu-anu'nya.

Akhirnya, muncullah kebaikan-kebaikan dengan alasan hanya karena orang lain, karena nilai (uang), karena ingin dipuji, bahkan karena ingin dicintai.

Keberadaan "anu-anu" ini kedepannya akan begitu mempengaruhi kehidupan seseorang, di manapun ia berada, cepat atau lambat.

Berbuat Baik Karena Orang Lain, Akan Ada Saatnya Kita Kecewa

Tak terpungkiri bahwa keberadaan orang lain sangat mempengaruhi perasaan kita. Karenanya, kadang-kadang perasaan dan emosi kita bisa naik turun. Sebab itulah sering muncul paradigma lain dari kebaikan.

Anggapan-anggapan seperti ingin dipandang baik oleh orang lain, berbuat baik supaya mendapat respect dari orang lain, hingga ingin mendapat kesempatan kerja yang lebih layak seringkali mengecilkan hati kita.

Padahal ujung dari anggapan-anggapan itu tidaklah selalu manis. Kalau tidak kita yang kecewa, maka kitalah yang mengecewakan orang lain. Terang saja, di dalam kebaikan yang telah rusak kemurniannya karena pengharapan berlebihan terhadap sesuatu yang mungkin fana, pasti sudah terdapat kebosanan, kejenuhan, dan perubahan sikap secara tiba-tiba.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline