Kebebasan pers dan perkembangan teknologi informasi dimasa kini, berhasil mejadi stimulus yang baik sebagai media koreksi dan perkembangan suatu bangsa dan negara. Perubahan memang banyak terjadi di sebuah situasi yang menuntut perbaikan di sana-sini. Dan proses perbaikan tentu memerlukan batu pijakan berupa hal faktual, empiris dan harapan yang ingin dituju oleh sebuah komunitas masyarakat. Ketiga pijakan tersebut, tentu memiliki dua sisi yakni positif dan negatif. Tapi apakah dari keduanya yang bisa melesatkan kita lebih efektif dari keadaan yang lama? Tentu sisi negatif. Bisa kita berkaca pada perjuangan negara-negara di dunia. Mereka merasa bahwa ada hal negatif yang lebih dominan daripada positif, hal buruk lebih riuh daripada aroma bahagia. Selanjutnya pun, perubahan menjadi keharusan. Karena menurut Carl Gustav Jung, Pencerahan bukanlah membayangkan akan cahaya, tetapi membuat disadarinya kegelapan.
Bangsa Indonesia, setelah keran demokrasi dibuka apalagi dengan dibantu oleh kebebasan pers, maka tidak heran setiap hari dalam surat kabar konvensional maupun elektronik ramai dengan berbagai macam pemberitaan. Mungkin sudah menjadi hidden manifesto pers, bahwa Bad News is a Good News, oleh karenanya kita akan sering menemukan kabar buruk akan lebih menarik dan sering diangkat daripada kabar baik. Hal negatifnya, banyak orang semakin apatis dan pesimis memandang Indonesia. Dimata mereka Indonesia sudah bobrok dan sulit untuk dibangun lagi. Sampai tidak ada kebanggaan sama sekali atas negeri dimana mereka dilahirkan tersebut.
Tapi bagi penulis, justru kita mesti berbahagia akan hal ini. Mengapa?
Berkaca dari argumentasi yang saya berikan sebelumnya. Bahwa perubahan ke arah perbaikan biasanya dipicu oleh refleksi atas kekurangan yang kita punya. Mulai dari bervariasinya pemikiran-pemikiran yang memang merupakan hasil dari revisi dan adaptasi, sampai dekonstruksi ataupun rekonstruksi atas hal lama yang dikira kurang mampu untuk memenuhi kriteria bagi kebutuhan masyarakat diberbagai ruang pada masa kini. Mulai dari teknologi, sistem ekonomi, politik, budaya, sampai pendidikan, yang saat ini kita kenal dan mungkin sedang dijalankan, merupakan hasil dari “evolusi” dari bentuk sebelumnya.
Oleh karenanya, jika kita terus menemui berita buruk atas bangsa ini. Hal itu merupakan sebuah langkah yang baik untuk perubahan. Bagaimana korupsi yang dulu menjalar hampir ke seluruh institusi dan kultur bangsa Indonesia, bahkan sampai dianggap menjadi hal yang biasa padahal keliru secara hukum dalam bernegara. Bagaimanapun, korupsi merupakan sebuah tindakan yang picik dan jauh dari asas keadilan, dan perlawanan atas korupsi pun berangkat dari informasi-informasi yang diangkat ke media. Sampai akhirnya negara Indonesia mempunyai lembaga tersendiri untuk selanjutnya memutus simpul dan labirin korupsi di negeri ini. Riuhnya berita para pejabat yang ditangkap dan berhasil dijebloskan ke penjara karena kasus korupsi, justru menandakan bahwa kita tidak diam dan terus menjaga iklim bernegara tetap kondusif serta bisa jauh dari penyakit laten untuk sebuah negeri, yakni Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Berita negatif yang sedang ramai pekan inipun, yakni tentang kriminalitas phedopilia, berhasil membuat para orang tua, praktisi pendidikan, sampai para pejabat negara memiliki “ke-ngeri-an akut” atas hal ini. Mereka cemas, para generasi muda menjadi korban atau sampai titik ekstrim yaitu menjadi pelakunya. Tentu tidak ada yang senang dari berita ini, karena para korban pun tercatat lebih dari 100 orang hanya untuk 1 kasus (Kasus Phedopilia di Sukabumi) saja!, dan itupun belum dikalkulasikan secara nasional.
Tapi dibalik berita yang memilukan hati inipun kita bisa melihat, masyarakat kita kini semakin tergerak untuk belajar, mengapa bisa sampai terjadi, apa yang bisa mereka lakukan untuk mencegahnya sampai bagaimana cara menangani korban. Hal ini dikaji dari berbagai aspek dan perspektif, yang tentu penulis menganggap bahwa ini menjadi hal yang konstruktif dan rehabilitatif. Konstruktif, dengan adanya berita ini tentu pencegahan dan edukasi semakin marak, yang tentu saya percayai bisa mereduksi bahkan sampai menghilangkan hal negatif (kriminalitas) ini ditengah masyarakat kita. Rehabilitatif, melalui edukasi dari berbagai aspek pun, para korban diharap bisa memutus mata rantai tindakan ini, dan masyarakat pun bisa berkehidupan sosial dengan aman.
Penulis mengamini anekdot “tamparan lebih bekerja daripada nasihat”. Kita sebagai bangsa Indonesia, kini tengah ditampar oleh kenyataan bahwa banyak hal yang harus diperbaiki dan ditangani secara serius. Dan ketidakpekaan masyarakat dengan menganggap sepele sebuah masalah sampai harus menjadi besar dahulu barulah bisa bertindak, merupakan kebodohan yang perlu diakhiri. Tentu, mencegah lebih baik daripada mengobati. Tapi mengobati tidak akan bisa terlaksana tanpa kita tahu apa yang menjadi permasalahan inti. Mari refleksi diri dan perbaiki!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H