Lihat ke Halaman Asli

Rumah Saya Anti Gempa, Anti Angin Barat, Anti Banjir, Anti Tsunami tapi Tidak Anti Likuifaksi

Diperbarui: 5 Oktober 2018   23:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dulu waktu kejadian gempa di aceh nggak ada yang nyangka tsunami bakalan menerjang kota Banda Aceh. Waktu itu saya lagi di Jakarta. Ketika liat berita gempa di Banda Aceh, saya biasa aja. Karena memang selagi saya kuliah disana taun 90-an sering kali kejadian gempa. Ada yang pas lagi ujian di kampus. Ada juga yang lagi tidur malam di kosan (dikasi tau temen pas bangun pagi, et dah saya ditinggal kabur sama temen pas gempa). Waktu lagi ngopi ada juga berapa kali. Entah sudah berapa kali gempa terjadi sebelum kejadian gempa di aceh. Sampe diberitakan kejadian tsunami, barulah saya kaget. Berarti skala gempanya emang lebih hebat dari biasa.

Jadi emang gempa adalah hal yang lumrah. Masyarakat lokal mahfum dengan keadaan wilayahnya yang rawan gempa. Sehingga menyiasati hal tersebut dengan mengkondisikan bangunan rumah mereka dengan konstruksi tahan gempa. Biasanya mereka membangun rumah panggung dengan konstruksi kayu yang lentur karena rangka bangunan disambung tanpa paku alias dengan pasak. Makanya kalo terjadi gempa rumah mereka goyang-goyang lentur sekali. Ada juga yamg bangun rumah beton. 

Tapi tsunami diluar perkiraan mereka. Sebagian besar rumah hancur.

Dulu saya juga menimbang beberapa keadaan alam yang mungkin terjadi di tempat saya tinggal sebelum membangun rumah. Saya perhatikan keadaan alamnya sering terjadi gempa, angin kencang, serta banjir. Maka saya minta tolong sama temen saya yang sudah biasa membangun rumah panggung dengan konstruksi kayu di lokasi yang jauuuuuh dari laut.

Jadi waktu itu saya liat saat rangka bangunan dibuat terlebih dahulu, rangka bangunan dirangkai dengan cara mencolok kayu palang bagian bawah pada kayu tiang yang telah dilubangi. Sedangkan palang bagian atas dilubangi ujung-ujungnya sehingga antara dua palang akan disatukan oleh satu kayu tiang yang sudah dipahat ujung atasnya. 

Setelah itu baru di perkuat dengan papan sebagai dinding. Untuk bagian atap saya meminta temen saya agar mengaitkan antara rangka atap dan bangunan dengan besi yang dicolok di tiap sudut setiap tiang, untuk mengantisipasi angin kencang di musim angin barat pada bulan juni-agustus. Pokoknya jadilah rumah saya berbentuk panggung anti gempa, anti angin barat, anti banjir, dan anti tsunami

Ketika terjadi gempa lagi tahun kalo nggak salah 2012, rumah saya berayun kencang, Alhamdulillah selamat. Pas musim angin barat pun atap rumah saya cuma bergetar, aman alhamdulillah. Terus waktu hujan nggak brenti-brenti sampe komplek perumahan saya ikut kebanjiran kecuali rumah saya. Alhamdulillah. Lokasi pun cukup jauh dari jangkauan tsunami yang lalu... nggak tau esok...

Aman saya rasa... sampe saya kaget sama berita dari Palu. Kalo dulu saya kaget dapet berita tsunami. Jangankan saya, korban tsunami dulu pun nggak nyangka bakal tsunami. Nah kali ini saya ngeri sama berita LIKUIFAKSI. Siapa yang nyangka satu kampung dapat bencana disedot kedalam bumi.?

Apa yang harus kita lakukan dengan jenis bencana seperti ini? bagaimana penanggulangannya?

Ada atau nggak ada, gak tau mau lari kemana kalo kayak gini, maka sebaiknya saya bertakwa kepada Allah tuhan yang menciptakan, memelihara, dan mengatur seluruh alam semesta, dengan tidak menyekutukannya dengan suatu apa pun, serta mematuhi perintah dan menjauhi laranganNya. Tidak lupa saya mohon ampun atas dosa dan kesalahan dan dimudahkan urusan dengan sesama manusia.

Supaya saya bisa selamat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline