Lihat ke Halaman Asli

Balada si Sarjana

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seperti hari-hari sebelumnya, langkahnya kian gontai. Satu persatu harapannya gugur laksana dedaunan tertiup topan. Diliriknya map kuning yang sedari tadi dipegangnya. Entah sudah berapa banyak gedung gedung tinggi yang ia sambangi. Diarahkan kakinya yang kurus ke sebuah mushola kecil.Ya, kesanalah ia melangkah untuk melepas lelah juga resah.

“mohon maaf saudara Rafkha, untuk saat ini anda belum dapat bergabung di perusahaan kami. Akan tetapi kami sangat berterima kasih atas kesedian saudara untuk mengikuti rangkaian test seleksi di perusahaan kami, semoga saudara sukses dikemudian hari.” Kembali ia teringat ucapan penolakan dari manajer HRD sebuah perusahaan yang baru saja ia sambangi.

Ingin rasanya ia berteriak “apa kalian semua tidak tahu, aku lulus dengan IPK terbaik. Apa kalian tidak tahu, susah payah orang tuaku mengumpulkan rupiah demi rupiah hanya untuk melihat anaknya mampu meraih cita-citanya. Apa kalian tidak tahu kini uang saku pemberian ibuku nyaris habis.” Akhirnya tangisnya pecah. Tak mampu lagi ia menahan pilu.

Habis sudah harapannya untuk membahagiakan ibunya, bapaknya juga adik semata wayangnya. Masih sangat jelas ingatannya ketika ia dinobatkan sebagai wisudawan dengan nilai terbaik, dengan IPK 3.9, nilai yang nyaris sempurna. Tak hanya ibunya, bapaknya juga adiknya yang bangga tapi orang-orang dikampungnya, sahabat-sahabatnya pun ikut bangga kala itu. Dengan bermodal ijazah dan uang dari ibunya ia putuskan untuk merantau ke Jakarta. Kota seribu mimpi kata orang-orang dikampungnya. Tetapi nasib berkata lain, hingga detik ini tak seujung kukupun terlihat bahwa mimpinya akan terwujud.

Sudah lebih satu jam ia tergugu dipojokan teras mushola. Beberapa orang yang kebetulan lewat terlihat heran melihatnya, ada yang iba lalu meletakkan lembaran ribuan didepannya, tak sedikit pula yang mencela. Namun si pemuda nampaknya tak menyadari akan hal itu. Ia masih saja tertunduk dalam tangisnya. Perlahan ia mengangkat kepalanya, betapa kagetnya ia mendapati di hadapannya ada bebera lembar uang ribuan, sepuluh ribuan dan bahkan ada uang pecahan lima puluh ribuan.

“Emang paling enak ngemis di sini mas. Selain adem tempatnya, yang datang kesini juga orang-orang tajir.” Terdengar suara seorang lelaki paruh baya dengan pakaian kumal yang tiba-tiba sudah duduk di sisi lain pojok teras mushola. “Duuuuh gusti, jauh-jauh aku ke Jakarta, kok malah dikira pengemis,” hati pemuda itu mencelos. Air matanya kembali menghambur keluar.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline