Memiliki sebuah kendaraan, khususnya roda empat dan sejenisnya adalah hak asasi setiap orang. Mobil pada hakekatnya dimiliki untuk membantu mobilitas dalam pekerjaan dan aktifitas keluarga lainnya. Tetapi, tidak menutup kemungkinan, sesekali orang membeli kendaraan dengan tujuan koleksi dan prestise.
Membeli mobil tidak serta-merta dibeli begitu saja, dibawa ke rumah, diparkir dan selesai. Sebaiknya, sebelum membeli mobil, penting untuk menyiapkan lahan parkir, minimal garasi mobil sendiri.
Kalaupun tak punya garasi, boleh komunikasi dengan tetangga terdekat untuk memanfaatkan garasi kosong atau lahan kosong yang bisa dijadikan tempat parkir.
Hanya saja, kadang-kadang, ada saja warga yang membeli kendaraan tetapi abai akan ketersediaan lahan parkirnya. Akibatnya, bisa bercabang dua.
Dampak pertama, mengganggu mobilitas orang lain karena parkir sembarangan di depan pintu pagar tetangga dan bahu jalan untuk pejalan kaki. Dampak kedua, bisa memicu cekcok antar sesama tetangga.
Parkir sembarangan memang masih menjadi masalah kompleks yang harus dicari solusinya di Indonesia. Di pasar, tempat-tempat publik dan di kawasan perumahan yang padat penduduk, pemandangan parkir sembarangan seolah menjadi hal biasa. Memang, ada juga petugas parkir liar yang mengaturnya, tetapi bagaimanapun juga lokasinya bukan untuk lahan parkir umum.
Melihat metode parkir di Indonesia yang masih cenderung semrawut, kesadaran dari pemilik kendaraan menjadi hal penting yang wajib dimiliki. Sifat ego dan cuek terhadap situasi lingkungan harus ditinggalkan.
Nah, berbicara tentang parkir kendaraan, saya sangat terkesima dengan metode parkir yang diterapkan oleh warga Pulau Jeju. Saya telah berhasil mengelilingi Pulau Jeju dan pemandangan akan parkir kendaraan ada di mana-mana.
Pola pemukiman di Pulau Jeju bagian utara dan barat laut berupa kawasan apartemen atau istilah rumah susun di Indonesia. Di wilayah bagian timur, selatan dan barat daya, perumahan cenderung tidak bertingkat karena mempertimbangkan tiupan badai setiap tahun.