Ujian Nasional 2024 (UN) kembali berhembus untuk diberlakukan dalam pemerintahan baru di Republik ini. Ya, istilah ganti menteri ganti kebijakan pun kembali bergulir.
Lagi dan lagi, dunia pendidikan tak bisa tidur nyenyak. Pejabat di pusat memutuskan kebijakan strategisnya, sekolah dan guru yang diberondong di bawah, siswa juga pada akhirnya yang jadi bulan-bulanan kebijakan.
Berbicara tentang UN, bagi saya selaku guru, tidak ada manfaatnya secara langsung kepada peserta didik. Untuk sekolah ya, pasti ada. Khususnya sekolah negeri. Nilai prestise sebuah sekolah akan cerah seiring predikat nilai rata-rata tertinggi UN. Kepala sekolah, pengawas sekolah hingga kepala dinas dan pemangku kepentingan di daerah ikut berbunga-bunga dengan predikat lulusan yang memperoleh nilai UN tertinggi.
Pertanyaannya, apalah nilai UN tersebut murni? Apakah proses ujiannya berintegritas?
Sebagai guru yang telah mengabdi selama lebih 15 tahun, suka dan duka penyelenggaraan UN telah saya alami, saksikan dan jalani langsung.
Integritas adalah hal pertama yang saya soroti. Seorang kepala sekolah negeri akan berjuang mati-matian agar sekolah yang dipimpinnya bisa lulus 100% dengan predikat nilai yang tinggi.
Masih teringat jelas dalam ingatan saya ketika masih menjadi guru honorer pada tahun 2007-2009. Kala itu, UN offline menggunakan LJK masih menjadi hal wajib penentu ketulusan.
Pada saat UN berlangsung, semua guru mapel dikarantina dalam satu ruang khusus untuk mengerjakan soal-soal ujian. Meskipun terdiri dari 5 paket, selalu ada celah bagi pihak sekolah untuk mendapatkan soal. Salah satunya melalui soal cadangan atau soal yang lebih.
Apa kerja pengawas ruang, pengawas sekolah, pemantau dan pihak keamanan? Tak perlu saya jawab. Semuanya berlangsung sesuai settingan. Soal berhasil diperoleh, guru mapel yang sibuk mengerjakan soal.