Pilkada hijau tengah menjadi buah bibir. Mampukah hasil dari kontestasi politik tingkat daerah merancang dan mewujudkan program yang mengarah pada kelestarian lingkungan?
Kesadaran tinggi akan kelestarian lingkungan ini adalah bagian penting dari semua tujuan yang tertuang dalam Sustainable Development Goals (SDGs).
Tantangan utamanya adalah sangat minim ada kepala daerah yang benar-benar menitikberatkan perhatiannya untuk mewujudkan lingkungan yang lestari dan hijau.
Apakah karena sejauh mata memandang, rangkaian pegunungan di Bumi Lakipadada, Tana Toraja yang masih hijau oleh pohon pinus dan bambu membuat para calon kepala daerah masih mengesampingkan program jangka panjang bersama masyarakat dunia menyelamatkan bumi dari kerusakan?
Bargaining politik adalah pemicu utama kegagalan pilkada hijau. Semua elemen yang terlibat dalam kontestasi pilkada sebagai tim sukses, sponsor dan partai pengusung tentunya mengharapkan "uang kembali" saat jagoan mereka terpilih.
Nah, jika dikaitkan dengan pilkada hijau, tak akan ada proyek-proyek yang memberikan keuntungan besar kepada tim sukses. Proyek yang paling mereka incar adalah pembangunan infrastruktur.
Infrastruktur jalan, misalnya, paling banyak mengorbankan pepohonan. Mirisnya lagi, fakta di Tana Toraja bahwa pohon-pohon pelindung yang tengah tumbuh subur dan hijau di sepanjang ruas jalan negara, justru banyak ditebang dengan beragam alasan menyertainya. Sekiranya dipangkas mungkin masih bisa tumbuh. Tapi dipangkas mati.
Pada masa kampanye calon kepala daerah saat ini, jika melihat sekilas visi, misi dan program para kandidat; program terkait kelestarian lingkungan masih abu-abu.
Kedua kandidat, pasangan Zadrak Tombeg-Erianto Laso' Paundanan (Zatria) dan Victor Datuan Batara - John Diplomasi (Visi) tidak memiliki program khusus yang mendorong kelestarian lingkungan.
Pada misi Zatria memang terdapat satu poin yang terkait lingkungan. Hanya saja menjadi abu-abu saat tertuang di program.