Pemilu 2024 tinggal menghitung hari. Hingar bingar dan gemerlap kampanye telah berjalan sejak 28 November 2023 yang lalu. Hanya saja kemeriahan kampanye caleg sepertinya tidak semeriah dan segemerlap kampanye caleg lima tahun yang lalu.
Kampanye caleg pemilu 2024 sepertinya adem-adem saja. Lebih hot kampanye pilpres 2024 dibandingkan kampanye caleg. Padahal caleg yang nantinya terpilih sebagai wakil rakyat adalah subjek terdekat masyarakat untuk mengadu dan meminta perbaikan pembangunan.
Tenggelamnya hiruk pikuk kampanye caleg oleh kampanye pilpres 2024 sebenarnya tidak juga. Kemeriahan kampanye caleg ditandai dengan ramainya pemasangan alat peraga kampanye (APK). Para caleg berlomba-lomba memasang APK dengan beragam ukuran. Warna dasar APK tentunya mengikuti warna kebesaran partai pengusung.
Dibalik kemeriahan kampanye lewat pemasangan APK, sebenarnya banyak caleg yang sedang ada dalam kondisi dilematis. Menjadi caleg memang sudah memunculkan dilema pada kebutuhan cost politik yang tidak sedikit.
Cost politik di tingkat kabupaten saja ada yang di atas 1 miliar rupiah. Dengan asumsi menyiapkan dana untuk 3000 suara sebagai ambang terbawah posisi aman untuk lolos sebagai anggota legislatif di level DPRD Kabupaten/Kota.
Di samping dilema cost politik, yang paling menonjol adalah dilematisnya para caleg yang sedang berjuang memperkenalkan diri dan mengumpulkan calon pemberi suara di Pemilu 2024 ditinjau dari mimpi mereka untuk duduk sebagai anggota legislatif nantinya.
Bagaimanapun juga, tak ada istilah caleg untuk memenuhi kebutuhan partai. Mereka semua memiliki mimpi dan tujuan yang sama. Satu partai rata-rata memiliki 7 caleg pada setiap daerah pemilihan. Nah, dari 7 caleg tersebut wajib ada keterwakilan 30% perempuan.
Caleg perempuan hanya sedikit yang ada pada posisi potensial terpilih. Sisanya adalah caleg dengan usia muda dan pensiunan. Apakah para caleg yang bisa dikatakan sedikit "dipaksakan" untuk memenuhi kebutuhan partai akan memiliki peluang yang sedikit pula?
Bisa ya, bisa pula tidak. Kemungkinan besar ada yang akan mampu menghadirkan kejutan. Meskipun minim dana kampanye, tetapi faktor kekuatan lingkungan sosial bisa menjadi pembeda.
Pemenuhan kuota caleg bukan hanya menimpa kaum perempuan. Pada titik sebelahnya, banyaknya partai turut menyulitkan partai untuk mencari caleg laki-laki. Alhasil, banyak pendatang baru.