Pagi hari tanggal 24 Agustus tahun 79 M, jalanan di Kota Pompeii dipenuhi dengan berbagai atraksi menarik: pemusik jalanan, peramal, permainan, dan perlombaan. Festival yang berlangung berhari-hari untuk merayakan pengangkatan sang kaisar Augustus yang telah meninggal 65 tahun sebelumnya yang kini telah menjadi seorang dewa, dan menamakan bulan Agustus dari namanya. Banyak atlet, penari, pemain teater, dan seniman lainnya yang datang dari luar Pompeii, ditambah para turis dan mereka yang datang dari tempat lainnya untuk sekadar menikmati festival besar-besaran ini. Tidak bisa diperkirakan berapa banyak orang yang ada di kota saat itu.
Sehingga, letusan Gunung Vesuvius yang terjadi siang harinya memakan korban tidak hanya dari Pompeii dan kota sekitarnya, namun juga para pendatang.
Meskipun letusan ini disebut-sebut "mendadak" dan "tanpa peringatan", namun sebetulnya peringatan telah muncul bahkan sejak 62 M, ketika sebuah gempa besar yang sebetulnya terjadi karena Vesuvius. Bahkan, kerusakan yang terjadi saat itu masih diperbaiki ketika letusan terjadi. Seakan untuk menambah ironi dalam bencana ini, sehari sebelumnya telah digelar festival Vulcanalia untuk menyembah dan merayakan keagungan sang dewa Vulcan---dewa dari api dan gunung berapi. Bukannya penduduk Pompeii tidak mendapatkan peringatan sama sekali, karena pastinya telah ada asap, gempa kecil, dan suara-suara longsoran batu, setidaknya. Namun, karena Vulcanalia, mereka mungkin justru menganggap bahwa ini adalah tanda baik dari sang dewa, bukannya peringatan untuk menjauh dari gunung itu sendiri. Sejauh yang dibayangkan para penduduk, hal-hal tersebut hanyalah tanda bahwa sang dewa sedang sibuk di dalam Gunung Vesuvius, senang karena semua orang sedang merayakan hari spesialnya.
Letusan Vesuvius terjadi selama lebih dari 24 jam. Letusan gunung berjenis stratovolcano ini dimulai pada pagi hari tanggal 24 Agustus, ketika batu cair dan batu apung mulai dimuntahkan dari Mt. Vesuvius dengan kecepatan 1,5 juta ton per detik. Sejumlah besar batu dan abu vulkanik memenuhi atmosfer, mengubah hari menjadi malam. Diperkirakan sekitar enam inci abu jatuh setiap jam. Sekitar tengah malam gelombang dan aliran piroklastik dimulai, dan pada pagi hari tanggal 25, awan beracun gas turun di Pompeii. Berbagai bukti menunjukkan bahwa di letusan awal yang terjadi pada tanggal 24 Agustus, sekitar 2000 orang masih selamat. Namun letusan yang lebih dahsyat pada keesokan paginya (25 Agustus) telah menghabisi nyawa yang tersisa. Para sejarawan percaya bahwa Pompeii terkubur oleh abu dan batu apung sedalam 14 hingga 17 kaki. Pada 1748 ketika para penjelajah memeriksa situs tersebut, mereka menemukan bahwa abu vulkanik telah bertindak sebagai pengawet. Bangunan, kerangka manusia, dan sisa-sisa kehidupan kota pun masih utuh. Biasanya, setelah bencana alam, kota dibangun kembali, tetapi tidak kali ini. Rupanya kerusakan itu begitu luas dan efek dari tragedi itu begitu besar sehingga tidak ada upaya yang dilakukan untuk memperbaiki kota Pompeii kembali. Namun, para penjarah kembali ke Pompeii dengan menggali terowongan melalui abu dan puing-puing lalu mengambil banyak kekayaan kota.
Sayangnya, Pompeii memiliki citra negatif dalam sejarah manusia. Seperti cara berpikir orang yang selalu mengatakan bahwa bencana adalah azab dari Tuhan atas perilaku manusia yang tamak dan penuh dosa, Pompeii pun memiliki reputasi yang sama. Kota ini punya sebutannya sendiri: kota yang dikutuk karena perzinaan.
Barang-barang temuan di reruntuhan Pompeii menunjukkan bagaimana seks menjadi napas kota itu. Beberapa artefak hasil galian sejak abad ke-18 menunjukkan karya seni Pompeii kebanyakan mengindikasikan nafsu birahi. Phallus atau penis ereksi mewujud dalam ragam karya seni, mulai pahatan dinding hingga patung. Bahkan, phallus jadi simbol keberuntungan masyarakat Pompeii. Film dokumenter Sex in the Ancient World: Prostitution in Pompeii garapan Kurt Sayenga pun menunjukkan banyak pahatan phallus di reruntuhan bangunan Pompeii. Belum lagi lukisan sejoli bercinta terpajang vulgar di sana sini. Bahkan, lebih liar lagi, terdapat patung dewa bersenggama dengan kambing.
Arkeolog University of Cambridge, Professor Andrew Wallace-Hadrill, menyebutkan bahwa artefak dan bangunan di Pompeii mengindikasikan prinsip masyarakat yang begitu menggandrungi seks. Wallace-Hadrill juga mengatakan, komodifikasi seks adalah sesuatu yang lazim dan menjadi ciri khas Pompeii di antara kota Romawi lain. Hal tersebut misalnya terlihat pada beberapa bangunan yang memiliki ukuran besar dan berisi kamar-kamar kecil dengan jumlah banyak. Kamar-kamar itu disebut cellae meretriciae, dan rumah tersebut secara gamblang disebut rumah bordil. Dalam catatan arkeolog Profesor Thomas McGinn, prostitusi di Pompeii benar-benar terstruktur rapi. Pompeii memiliki setidaknya 41 rumah bordil komersial yang tersebar di seantero kota. Masing-masing memiliki fasilitas andalan dengan variasi layanan seks, mulai teater bugil, mandi kucing, hingga layanan dansa. Amfiteater Pompeii yang megah tak jarang pula menawarkan atraksi tari telanjang.
Kenapa industri seks bisa laju di Pompeii? Salah satunya, karena 80 persen penduduk Pompeii berasal dari kalangan menengah ke bawah yang mudah tergiur pada gelimang uang. Pun, para tuan pemilik rumah bordil mendapat dukungan dari seluruh masyarakat. Prostitusi Pompeii tersohor ke seluruh wilayah Roma. Selain memiliki banyak tempat lokalisasi, jasa seks di Pompeii terbilang murah dibanding di wilayah lain Romawi. Jika di kota lain seperti Roma jasa seks bisa mencapai 6 hingga 8 asses (mata uang Romawi), di Pompeii cukup 2 asses.
"Seks adalah mata uang di Romawi kuno," tulis McGinn.
Simak simulasi keadaan Pompeii ketika letusan Gunung Vesuvius terjadi di video di bawah ini.