Lihat ke Halaman Asli

OVANTUS YAKOP

Mengolah Hati dan Budi Melalui Menulis

Peran Tua-Tua Adat, Pemertahanan Mbaru Gendang, Pendidikan tentang Budaya Manggarai

Diperbarui: 27 Juli 2024   09:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: Pakaian adat Manggarai. (Foto: KOMPAS.com/MARKUS MAKUR)

Salah satu kapital sosial yang ada dan hidup dalam masyarakat Manggarai yakni lembaga adat. Lembaga adat memiliki peran penting sebagai pelaku utama atas kebudayaan dalam sebuah komunitas kecil yang kerap disebut sebagai b o/golo lonto (kampung). Menurut Verheijen (1991:25), b o merupakan kesatuan terkecil dan sekaligus sakral.

Setiap kesatuan sosial terkecil dikatakan sebagai sebuah b o apabila ditandai dengan adanya unsur-unsur berikut. Pertama, lembaga adat yang terdiri dari tu’a golo, tu’a teno dan tu’a panga. 

Kedua, memiliki mbaru gendang (rumah adat) yang dilengkapi dengan berbagai peralatan budaya. Ketiga, mempunyai wilayah kekuasaan oleh kesatuan masyarakat hukum adat (lingko).

Perpaduan ketiga unsur tersebut, menggambarkan keterkaitan antara keberadaan para tu’a-tu’a adat dalam suatu kampung dengan mbaru gendang dan lingko. 

Pandangan masyarakat Manggarai, hal tersebut merupakan cikal bakal lahirnya sebuah go’ t (ungkapan) “gendang on -lingko p ang’’ (gendang yang digantungkan pada rumah adat menjadi satu kesatuan yang utuh dengan lingko-lingko yang menjadi hak warga masyarakat setempat). 

Ungkapan tersebut tentunya dipandang sebagai petunjuk sekaligus pedoman yang menggarahkan segenap anggota perseketuan.

Hal ini didasari oleh beberapa aspek diantaranya; Pertama, aspek historis berdiri dan terbentuknya sebuah b  oleh para leluhur sehingga mereka di posisikan sebagai ata tu’a laing on  ca b o (yang tertua dalam sebuah kampung). Kedua, seorang tu’a golo dipilih dilihat dari usia (ata ngaso/ka laing) dan memahami adat-istiadat. 

Ketiga, tu’a teno dipilih  berdasarkan pergiliran keturunan, baik dari keturunan kakak maupun adik. Keempat, tu’a panga yang merupakan utusan dari setiap keluarga ranting.

Eksitensi lembaga adat di Manggarai mengalami perubahan. Pada zaman dahulu, segala bentuk perilaku-perilaku individu yang melanggar hukum norma adat dalam kehidupan bersama di suatu kampung, dilimpahkan kepada tu’a-tu’a adat melalui garis komando dan koordinasi antara tu’a-tu’a sebagai pihak pengambil keputusan, sekarang hal itu jarang sekali ditemukan karena sudah diganti oleh hukum positif.

Tradisi masyarakat Manggarai, ungkapan ata tu’a atau ata tu’a laing dalam suatu kampung memiliki kaitannya dengan kedua identitas yang ada pada suatu komunitas kecilyakni mbaru gendang dan lingko. Mbaru gendang (mbaru = rumah, gendang = alat musik tradisional Manggarai yang terbuat dari kayu dan kulit kambing). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline