Lihat ke Halaman Asli

Ngantri? Ke Laut Aja

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_99914" align="alignnone" width="300" caption="Antrian (sumber:google.com;hinamagazine.com)"][/caption] Untuk urusan antri, saya termasuk salah satu fansnya. Saya pun jarang sekali menyerobot antrian, pake jalan pintas lewat pintu belakang, pintu samping ataupun pintu surga. Menurut saya, memotong antrian sama saja merebut hak orang laen. Antri adalah konsep yang bagus, datang pertama dilayani duluan. Adil kan. Keadilan yang remeh temeh tentunya, tidak sebesar adil dalam bagi2 amplop dan kaya bareng akhirnya. Sayangnya, jarang orang laen berpikir hal yang sama. Saya ingin berbagi pengalaman saya yang kurang enak. Dalam sehari antrian saya diserobot tiga kali. Entah sedang sial atau memang saya keterlaluan taatnya dengan aturan. Saya tidak tahu. Yang jelas hari itu saya mengumpat kiri kanan. Orang-orang disekitar hanya menyuruh saya untuk bersabar. Saya menghela nafas saja. Saya yakin jika pak Sabar, tetangga saya, mengalami hal serupa dengan saya. Dia tak segan-segan main debus. Loh?!? Maaf saya jayus. Mari lanjut dan lupakan pak Sabar. Serobotan pertama terjadi di Bandara CGK. Di tempat pemeriksaan bagasi sebelum masuk ke ruang tunggu. Saya hendak ke Jogja naik pesawat Garuda. Ketika itu antrean cukup panjang, butuh 10 menit bagi saya untuk sampai ke depan mesin pemeriksaan bagasi tersebut. Ketika saya hendak menaikkan tas kabin saya ke mesin periksa, tiket saya terjatuh. Saya jongkok sebentar, untuk mengambil tiket yang jatuh tersebut. Ketika saya mengambil tiket saya yang jatuh itu, tiba-tiba seorang ibu-ibu dengan dandanan sinetron di belakang saya langsung maju dan menaruh tasnya di tempat pemeriksaan. Ketika saya tegur, ibu itu cuman menimpali, “yah gimana, tas saya udah terlanjur masuk (mesin) tuh” sambil terus berlalu. Geram bukan main saya waktu itu. Petugas pun tak bisa berbuat apa-apa. “Tasnya udah masuk scanner mas”, kata petugas itu lirih. Jujur saya paling benci kalo orang nyerobot antri, apalagi antrian saya. Setibanya saya di Jogja, saya mencoba tidak memikirkan peristiwa tersebut. Disini, saya ingin hepi-hepi. Saya minta dijemput adik saya karena bawaan saya lumayan banyak. Selesai memasukkan mobil ke bagasi, kita bersiap2 keluar dari areal parkiran bandara. Meskipun ada 2 lajur jalan yang bisa dipakai, antrean mobil penjemput tetap berjubel. Macet. Selagi mobil berjalan, tiba-tiba saja mobil di depan saya mengerem mendadak. Hampir saja mobil adik saya menabrak. Gara-garanya, ada taxi yang langsung memotong jalan mobil di depan saya ini. Padahal taxi tersebut baru saja datang dan selesai menurunkan penumpang. Sigh, saya tambah kesal. Setengah mati. Dalam perjalanan pulang dari makan malam, saya mampir sebentar ke swalayan kecil dekat rumah kontrakan adik saya. Saya membeli sikat gigi, beberapa makanan dan minuman titipan adik saya. Selesai memilih, saya menuju ke kasir. Antrian di kasir, tidak begitu panjang, hanya 4 gelintir orang. Mbak-mbak di depan saya beli barang cukup banyak, mungkin dia lupa ini swalayan kecil, bukan toko grosir. Tapi tak apalah, mbak-nya imut. Ketika sampai giliran saya, eng ing eng, yak antrian saya diserobot lagi. Tiba2 seorang ibu (lagi) paruh baya menaruh barangnya di kasir dan dengan santainya ngomong “nitip ya mas, cuman 1 barang kecil aja”. Dalam batin saya berteriak, “Gundulmu”. Saya menolak mentah2, dan menegaskan kalo saya antri lebih dulu jadi tolong hargai. Langsung saja belanjaan saya sodorkan ke kasir untuk dihitung. Melihat ibu itu ngedumel, saya bingung. Bukannya, saya ya yang harusnya ngedumel. Sebegitu susahnya kah kita menerapkan budaya antri? Menjadi seindividualis itukah orang2 di sekitar saya? Bagaimana bisa orang minta dilayani cepat dan lebih dulu jika hanya ada satu bilik layanan?. Hari itu saya benar2 heran dan bertanya2, mungkinkah saya yang salah karena menaati peraturan? Di jalan saya melihat baliho tak terawat bertuliskan Pancasila, disana terpampang sila ke-5 : keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Saya hanya tersenyum kecut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline