Lihat ke Halaman Asli

Kasus Prabowo vs Jokowi: Teori Membedah Public Figure Effect Pada Pileg 2014

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13972943161794741671

[caption id="attachment_319729" align="aligncenter" width="281" caption="Jokowi dan Prabowo: Siapa Paling Berpengaruh?"][/caption]

Sumber Gambar

PROLOG
Prabowo effect lebih hebat daripada Jokowi effect. Memang demikian katanya. Semua media online, pengamat, televisi, dan media cetak yang juga digemakan oleh para suporter Prabowo dan Gerindra di media sosial seperti twitter dan facebook . Tentu mereka pantas bangga atas kehebatan Prabowo. Itu hak mereka semua untuk mengklaim demikian. Sah-sah saja. Tetapi, apakah lantas Jokowi boleh diejek karena --menurut mereka-- kurang effectnya Jokowi pada perolehan suara PDI Perjuangan dalam pileg 2014 kali ini? Kenapa selalu Jokowi yang jadi bahan ejekan setelah hasil quick count dimunculkan? Bagaimana kesimpulan itu dibangun sehingga Prabowo effect bisa hebat? Apa dasarnya? Selama ini saya tidak menemukan teori public figure effect pada hasil perolehan suatu partai. Agar bisa diambil kesimpulan, tentu saja harus digunakan analisa kuantitatif, bukan kualitatif seperti para pengamat itu menilai.

Berikut saya menyajikan analisa kuantitaif tersendiri sehubungan dengan pubic figure effect ini yang dikaitkan dengan hasil perolehan suara suatu partai dengan memperhatikan hasil sementara quick count yang ada.

BEBAN PARTAI
Jauh-jauh sebelumnya diperkirakan partai-partai yang diisukan korupsi sampai yang diterpa korupsi semua diramalkan turun perolehan suaranya. Alasan utamanya adalah kesadaran politik rakyat Indonesia yang meninggi dan anti korupsi. Rakyat tak mau memilih partai korupsi jika suatu partai terindikasi korupsi kader-kadernya. Seperti diketahui, indeks korupsi yang dirilis oleh ICW periode 2002-2014 (www.antikorupsi.org) sebagai berikut 1. PDIP (7.7) 2. PAN (5.5) 3. Golkar (4.9) 4. PKB (3.3) 5. PPP (2.7) 6. PKPI (2.1) 7. Gerindra (1.9) 8. Demokrat (1.7) 9. PBB (1.6) 10. Hanura (1.5) 11. PKS (0.3).

Namun beda halnya dari data yang diperoleh dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepanjang tahun 2005 sampai tahun 2013. Lembaga antirasuah itu pun mencatat partai Golkar sebagai partai yang memiliki kader terbanyak yang tersangkut kasus korupsi dan telah mendapatkan putusan dari pengadilan. Terdapat 40 kader GOLKAR terlibat korup, diikuti PDI-P 27, DEMOKRAT 17, PAN 8, PPP 8, PKB 2, GERINDRA 2, PKS 1, PBR 2, PKPI 1, PBB 2. Sumber disini.

Dapat dilihat dari kedua data tersebut bahwa PDIP menurut ICW mempunyai indeks korupsi tertinggi (7,7), sedangkan menurut KPK jumlah kader PDIP yang terkena kasus korupsi 27 orang di urutan kedua setelah Golkar. Untuk Partai Gerindra 1,9 menurut ICW, dan menurut KPK kader Partai Gerindra 2 orang yang melakukan korupsi. Artinya bisa jadi daya angkat PDI Perjuangan lebih berat dibandingkan dengan Partai Gerindra, karena kader PDI Perjuangan yang terkena kasus korupsi lebih banyak dibanding Partai Gerindra.

WAKTU TERSEDIA BAGI PUBLIC FIGURE
Fenomena public figure effect memang menarik untuk dicermati. Hal ini karena public figure yang berperan sebagai calon presiden suatu partai yang mengusungnya bisa membawa partai itu meraih simpati masyarakat agar dengan rela memilih kader partai yang lain dan partai pengusungnya. Saya dalam menganalisis pengaruh public figure ini melihat dari waktu persiapan yang dipunyai oleh public figure tersebut sebagai calon presiden suatu partai yang mengusungnya. Waktu yang cukup itu berarti memberikan kesempatan public figure tersebut untuk melakukan kampanye secara meluas kepada masyarakat pemilih di Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui, ambisi Prabowo untuk menggapai mimpinya menjadi presiden menggantikan SBY, membuatnya mempersiapkan diri lebih lama. Ia mempersiapkan diri sejak tahun 2009. Sudah lima tahun di hari-hari malamnya dalam pikirannya penuh terisi mimpi menjadi presiden. Ia pun mengerahkan semua daya upayanya untuk meraih cita-cita itu. Uang yang digelontorkan oleh adiknya, Hasyim Djoyohadikusumo tidak sedikit, triliun nilainya demi ambisi kakaknya itu. Uang itu digunakan untuk menjadikan Prabowo lebih dikenal oleh rakyat Indonesia, salah satunya untuk membayar iklan dalam berbagai jenis di semua media sejak tahun 2009.

Sedangkan sebaliknya dengan Jokowi, ia sebelumnya tidak pernah memikirkan untuk menjadi presiden, walaupun terus menerus elektablitas dan akseptabilitasnya mengalahkan Prabowo setelah ia berhasil mengalahkan Foke dalam pilihan Gubernur DKI Jakarta yang berpasangan dengan Ahok menjelang akhir tahun 2012. Hal ini juga ditunjang karena rekam jejak prestasi Jokowi di Solo, dan hari-hari kegiatannya (terutama blusukan) di Jakarta yang diberitakan secara terus menerus oleh media, sehingga ia menjadi media darling. Jokowi karena "desakan" yang terus menerus baik dari pendukung Jokowi maupun "rayuan" maut yang disodorkan oleh lembaga survey yang terus-menerus diselenggarakan. Megawati pun akhirnya berlega hati dengan jiwa yang ikhlas memberikan kesempatan Jokowi kadernya. Megawati pun 14 Maret 2014 mendeklarasikan Jokowi menjadi capres yang diusung oleh PDI Perjuangan, padahal waktu pileg 3 minggu lagi. Sontak Jokowi dengan mengucap "bismillah" sambil mencium bendera merah putih, ia pun tak ada pilihan lain selain menerima "desakan" amanah itu. Jokowi pun resmi menjadi capres PDI Perjuangan.

TARGET PARTAI
Sehubungan dengan kesadaran politik masyarakat dimana masyarakat semakin cerdas untuk tidak memilih partai yang cenderung korupsi, beban Jokowi dipastikan lebih berat mengangkat PDIP dibanding Prabowo untuk mengangkat Gerindra. Angka-angka dari ICW an KPK menunjukkan hal itu. Trust level rakyat lebih tinggi pada partai yang kadernya melakukan korupsi lebih sedikit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline