[caption id="attachment_345125" align="aligncenter" width="535" caption="Uang dan Politik selalu ada dalam sistem demokrasi?"][/caption]
Undang Undang Pilkada yang disetujui oleh DPR beberapa waktu yang lalu menyisakan kehancuran citra SBY dan Partai Demokrat, juga pada koalisi merah putih. Rakyat menunjukkan kemarahan atas lolosnya RUU Pilkada saat pembahasan dalam sidang paripurna DPR 25 September 2014. Sudah sejak awal publik menunjukkan ketidaksetujuannya pada Pilkada Tak Langsung dimana pimpinan daerah dipilih oleh parlemen daerah (DPRD) yang diajukan oleh Koalisi Merah Putih yang diusung oleh Gerindra, Golkar, PPP, PBB, PKS dan PAN. Melalui voting akhirnya UU Pilkada disetujui DPR dengan perbandingan yang setuju Pilkada Tak Langsung 226 suara, yang setuju Pilkada Langsung 136, Fraksi Demokrat abstain. Karena sikap plin-plan Fraksi Demokrat inilah publik mengarahkan kemarahannya pada SBY dan Partai Demokrat.
Atas disetujuinya Pilkada Tak Langsung (UU Pilkada) ini publik secara masif menunjukkan kemarahannya, tidak hanya di dunia nyata tapi juga di dunia maya. Di dunia maya ekspresi kemarahan rakyat di dunia maya baik di status Facebook maupun di Twitter. Paling menonjol adalah di Twitter, hastag #ShameOnYouSBY, #ShamedByYou, dan #ShamedByYouAgainSBY, berturut-turut, terus menerus menjadi Trending Topic tak hanya di Indonesia, juga di dunia sejak 26 September 2014 sampai sekarang! Sebuah rekor untuk Trending Topic sama yang bertahan lama.
Di dunia nyata tak hanya demo yang marak, tapi pendaftaran judicial review (uji materi) UU Pilkada pun ramai diajukan ke Makamah Konstitusi (MK). Tercatat beberapa entitas politik yang berencana mengajukan uji materiseperti Dewan Pimpinan Daerah (DPD), Partai Demokrat , PDI Perjuangan; Lembaga Swadaya Masyarakat yang sudah mengajukan seperti INFID, Koalisi Perempuan Indonesia, LBH Pers, Imparsial, ICJR dan lain-lain ; bahkan juga perseorangan semisal Ridwan Kamil, Ulin Niam Yusron, Wiladi Budiharga dan lain-lain.
Alasan utama ekspresi kemarahan masyarakat itu adalah bahwa Pilkada Tak Langsung memangkas hak demokrasi rakyat untuk memilih. Ini bertentangan dengan hak azasi manusia (HAM), menggerus hak politik setiap warga negara. Pilkada pilihan DPRD itu bertentangan dengan Pasal 43 UU No. 39/1999 tentang HAM menyebut jelas, “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Selain bertentangan dengan UU No. 12/ 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil and Political Right (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
Tak dapat dipungkiri, sudah menjadi rahasia umum dan ini nyata serta banyak fakta terungkap bahwa money politic selalu ada dalam setiap pemilu, baik itu pileg ataupun pilkada bahkan pilpres. Baik sistem pilkada langsung maupun tidak langsung. Sangsi atau hukum yang diterapkan pada money politik selama ini TIDAK berjalan dengan baik dan TIDAK menimbulkan efek jera atau bahkan seperti seolah dibiarkan merajalela.
Serangan Fajar dalam pemilu di Indonesia
Salah satunya, istilah "serangan fajar" membuktikan adanya money politic itu. Serangan fajar dilakukan di saat akhir menjelang pilihan dilangsungkan dimana para calon menghendaki kemenangan di pihaknya dengan melakukan "pembelian" suara pemilih. Dalam sistem pilkada tak langsung, distribusi serangan fajar atau money politic terkonsentrasi pada parlemen. Tentu saja pada parlemen, karena tiap suara jadi amat penting artinya bagi calon kepala suatu daerah atau bahkan negara. Serangan fajar pada parlemen bisa berupa uang tunai, barang mewah (mobil, jabatan) bahkan juga kenikmatan seks. Nilai atau besaran rupiah tergantung dari penentu tidaknya suara itu. Semakin menjadi penentu nilai tawar akan menjadi semakin tinggi.
Sebailknya, serangan fajar dalam sistem pilkada langsung dilakukan tak hanya berupa uang tunai yang dibagi, tapi bisa berupa sembako, kebutuhan primer (TV, motor) dan lain-lain. Money politic terdistribusi kepada masyarakat dalam sistem pilkada langsung secara merata. Individu masyarakat mendapatkan bagian yang relatif kecil. Walaupun saat sekarang masyarakat sudah mulai pintar "terima uangnya, pilih lainnya", tapi masih banyak juga masyarakat yang tentu saja memilih kepada siapa pemberi serangan fajar. Inikah alasan lain yang "hidden" atas maraknya ekspresi kemarahan publik atas lolosnya UU Pilkada? Jawabannya khusus yang ini ada pada hati masing-masing. Wallahu'alam.