[caption id="attachment_357678" align="aligncenter" width="630" caption="Situasi Sidang DPR Ricuh: Tontonan yang Menggelikan sekaligus Memuakkan"][/caption]
Hari-hari DPR di Senayan sejak pelantikan awal Oktober dilalui dengan permusuhan dan keributan. Alih-alih permusuhan itu menurun setelah pelantikan Presiden/Wakil Presiden terpilih Jokowi - Jusuf Kalla pada 20 Oktober 2014, justru ternyata lebih meruncing dan parah. Konflik yang berkepanjangan di DPR menjadi tontonan yang menggelikan sekaligus memuakkan.
Bermula ada nuansa dendam membara di kubu KMP terhadap KIH, kubu yang mengalahkan jagonya Prabowo Subianto untuk menjadi presiden di pilpres 9 Juli lalu. Koalisi gemuk ala kubu KMP menyapu bersih posisi pimpinan MPR-DPR dan alat kelengkapannya. Sedikitpun tak memberi kesempatan kepada kubu KIH secara proporsional berbagi posisi baik di pimpinan maupun di komisi, selain pengesahan perubahan tata tertib DPR dan memenangkan UU Pilkada melalui voting. Kubu KIH tak terima. Kubu KIH menuduh apa yang dilakukan oleh KMP sudah menyalahi pakem demokrasi Indonesia: musyawarah untuk mufakat.
Keputusan yang membuat amarah rakyat tersulut adalah ketika rakyat merasa ditelikung dengan voting pengesahan perubahan UU nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) atau UU Pilkada. Keputusan Pilkada Tak Langsung diketok dan disahkan melalui drama yang menjadikan tagar #ShameOnYouSBY mendunia beberapa hari di media sosial twitter karena keputusan Partai Demokrat yang akhirnya berbalik mendukung Pilkada Tidak Langsung. Keputusan tersebut sontak menyulut dan membakar kemarahan sebagian besar rakyat. Tingkah KMP dan Partai Demokrat yang demikian dianggap mengkhianati rakyat. Demonstrasi muncul dimana-mana untuk menunjukkan perlawanan terhadap KMP dan Partai Demokrat yang mengebiri suara rakyat untuk memilih pemimpinnya secara langsung. Demonstrasi memang berhenti tapi meninggalkan bekas yang dalam dalam benak rakyat.
Kesemua itulah penyebab utama terus berlanjut terjadinya keributan antar koalisi di gedung Senayan. Oleh karena itu, muncullah DPR tandingan dimana KIH menjadi lokomotifnya. Perseteruan keduanya terus semakin parah dan memanas. Setelah berkutat dalam tarik-ulur negosiasi damai, keduanya sepakat untuk berbagi posisi di komisi dan melakukan revisi UUD MD3 yang telah disahkan sebelumnya. Hari Senin, 17 November 2014 poin-poin perdamaian disepakati untuk esoknya perjanjian perdamaian bisa ditandatangani di Gedung Nusantara. Poin-poin kesepakatan itu di antaranya memuat penghapusan sejumlah pasal di UU nomor 17/2014 tentang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan jatah 21 kursi pimpinan alat kelengkapan dewan untuk KIH.
Sepuluh hari kemudian, pada Kamis, 27 November 2014 perpecahan kedua kubu nyaris terjadi. Sidang mereka tidak menyepakati bahwa undang-undang yang mereka perdebatkan tidak masuk prolegnas dengan berbagai alasan. Kubu KIH pun menuduh KMP tidak memenuhi komitmennya. Situasi kembali memanas. Akhirnya mereka menyepakati lagi bahwa pembahasan UU MD3 dibahas di Baleg dan mereka ingin kebut sampai selesai di tahun 2015.
Sampai sekarang keributan kedua kubu DPR itu sudah berjalan lebih dari 60 hari dari pelantikan DPR-DPD pada 1 Oktober 2014. Situasi mereka masih belum sepenuhnya kondusif untuk mulai bekerja. Ketiga fungsi DPR (legislasi, budget dan pengawasan) terbengkelai selama permusuhan itu bahkan tidak berjalan sama sekali, terutama fungsi pengawasan. Sampai saat ini mereka tidak bekerja untuk rakyat, mereka hanya bekerja untuk kelompok, golongan dan partainya saja.
Di lain pihak Pemerintah, Presiden Jokowi, Wakil Presiden JK dan kabinetnya sejak dilantik telah bekerja ngebut. Presiden dan pembantunya berupaya memenuhi janji kampanye kepada rakyatnya dengan bekerja penuh semangat, penuh kesungguhan dan dengan hati suka cita.
Apapun alasan para anggota parlemen, fakta memperlihatkan kepada kita seluruh rakyat Indonesia bahwa apa yang mereka perbuat (kubu KIH dan KMP) sejak dilantik sampai saat ini hanya memikirkan kepentingan kelompoknya, golongan atau partainya. Mereka semakin menegaskan diri bahwa mereka hanyalah wakil partai bukan wakil rakyat yang memikirkan kepentingan rakyat. Mereka mengkhianati kepercayaan yang kita berikan. Pajak yang kita sisihkan hanya untuk membayar mereka berkelahi memperebutkan posisi untuk kepentingan mereka. Itu pun mereka masih sempat-sempatnya mengancam menginterpelasi Presiden karena menarik sebagian subsidi BBM dengan menaikkan harga BBM untuk kepentingan produktif.
[caption id="attachment_357680" align="aligncenter" width="630" caption="Seruan-Seruan Pembubaran DPR"]
[/caption]