Salah satu foto yang baik adalah foto yang memikat secara emosional dan berdampak pada orang yang melihat foto tersebut. Keterpikatan emosi tentu pertama kali terjadi pada si fotografer.
Ketika melihat sesuatu, hati si fotografer tergerak lalu otaknya merespon dan memerintahkan jari menekan tombol shutter maka terjadilah sebuah peristiwa freezing the moment, penghentian waktu, pengabadian sebuah peristiwa menjadi sebuah gambar yang tak bergerak.
Kemudian, keterpikatan emosi yang kedua terjadi ketika orang yang melihat foto yang dihasilkan merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan oleh si fotografer.
Saya pernah membaca sebuah buku tentang fotografi medan perang. Foto-fotonya sangat memikat emosi saya dan sang fotografer mengakui kadang dia menyembunyikan matanya yang basah di balik kamera.
Pada awalnya saya tidak punya tujuan khusus ketika pergi ke pasar membawa kamera mirrorless model rangefinder dan satu lensa fixed 28mm manual fokus. Saya hanya ingin mengasah ketrampilan memotret dengan pra fokus zona.
Saya membahas cara melakukan pemfokusan zona pada tulisan saya sebelumnya. Teknik ini sangat efektif karena tidak perlu mengatur fokus dan akan jauh lebih cepat dari sistem auto focus yang ada. Momen pasti akan tertangkap. Namun zone focusing perlu latihan supaya terampil.
Ketika saya mulai menelusuri lorong-lorong pasar tradisional yang cahayanya agak redup di pagi hari, dan mulai jepret sana sini dengan mematikan suara shutter, ada perasaan aneh yang menjalar.
Dalam benak dan ingatan saya, pasar adalah sebuah kemeriahan, sebuah gairah geliat ekonomi kerakyatan. Tetapi pagi itu pasar mengapa sunyi dan tanpa gairah, padahal hari itu adalah H-1 Lebaran. Pasar terasa dingin, tak ramah, dan tua.
Dalam tradisi lisan Jawa sering disebut ramalan Prabu Jayabaya dari Kediri yang meramalkan akan datangnya suatu masa ketika "kali bakal kelangan kedunge, pasar bakal kelangan kumandange", yang artinya sungai akan menjadi dangkal kehilangan ceruknya, dan pasar kehilangan kemeriahan suaranya. Mungkin inilah zaman itu.
Pasar tradisonal isinya kebanyakan adalah orang tua, generasi baby boomers. Saya rasa generasi X lebih menikmati berbelanja di mal sedangkan generasi Z lebih demen belanja online.
Mungkin pasar tradisional akan surut dan hilang atau berubah rupa seiring surutnya generasi baby boomers yang lahir sekitar Perang Dunia II sampai tahun 1960-an. Mungkin, siapa yang tahu. Mungkin foto-foto jalanan di pasar tradisional ini akan turut menjadi catatan surutnya kemeriahan pasar. Mungkin.