Salah satu ciri terpenting pada jaman digital ini adalah berjibunnya sarana otomatis. Semakin hari semakin sedikit hal-hal yang dikerjakan secara manual. Manusia semakin sedikit melakukan usaha dan hasilnya lebih cepat dan lebih akurat tersaji. Kita tinggal menekan satu tombol atau mengaktifkan sesuatu dengan satu perintah maka terjadilah yang kita inginkan. Syarat dan otot yang terlibat dalam suatu kegiatan semakin hari semakin minimal. Saya kira demikian juga dengan kerja otak, semakin hari semakin sedikit bagian otak yang teraktivasi pada saat kita melakukan sebuah kegiatan.
Ambil contoh ketika kita tersesat atau hendak mengunjungi suatu tempat yang tidak kita tahu. Pada zaman sekarang, kita akan segera memakai pendekatan digital dengan meraih gawai dan memakai google map, munuliskan alamat yang kita cari dan dengan sangat cepat google map akan memberi petunjuk dengan akurat. Usaha yang kita lakukan sangat minimal dan hasil yang kita dapatkan sangat cepat, tepat, dan akurat.
Kalau kita bandingkan dengan cara "manual" dalam mencari alamat, kita akan berhenti, mencari orang, dan kemudian bertanya. Ada beberapa kemungkinan dengan usaha pencarian alamat model manual ini. Kemungkinan pertama, orang yang kita tanya mengetahui alamat yang kita cari. Kemungkinan kedua, orang yang kita tanya tidak tahu sehingga kita harus mencari orang lain. Ketika kita menemukan orang yang tahu alamat yang kita cari, kita juga masih mempunyai beberapa kemungkinan. Bisa saja orang tersebut memberi petunjuk yang akurat tetapi kita tidak bisa memahaminya. Bisa saja dia memberi petunjuk yang tidak jelas sehingga kita harus bertanya orang yang lain lagi.
Kalau kita melihat contoh peristiwa mencari alamat tersebut dari sudut pandang kecepatan dan ketepatan cara pertama tentu lebih baik. Tetapi kalau kita melihatnya dari sudut pandang aktivasi syaraf dan otot di tubuh dan otak kita, cara kedua tentu lebih baik karena mengaktifkan lebih banyak syaraf dan otot. Juga kalau melihat dari sudut pandang kecakapan, peristiwa kedua lebih banyak menuntut atau melatih kecakapan. Kecakapan komunikasi dibutuhkan karena untuk mendapatkan informasi yang benar kita harus mengajukan pertanyaan yang benar secara linguistik dan mengajukannya dengan sikap yang baik.
Hal serupa juga terjadi pada dunia fotografi. Kemajuan teknologi digital telah memungkinkan manusia mengambil foto hanya dengan menekan atau menyentuh satu tombol. Foto yang dihasilkan sangat cepat dan juga sangat akurat. Ketika kamera diset pada mode otomatis maka sedikit sekali syarat dan otot yang diaktifasi untuk menghasilkan sebuah foto. Selain aktifasi otak kelemahannya adalah bahwa pemilik kamera dikendalikan dan diatur oleh kamera, bukan sebaliknya. Dengan demikian pemilik kamera tidak akan menjadi terampil dan cakap dalam fotografi karena tidak pernah mengasah kemampuan analisa keadaan subjek foto dan setting kamera.
Kalau kita ingin menjadi fotografer yang semakin hari semakin menjadi lebih baik sebaiknya kita memilih mode manual 100% di kamera kita. Otak kita akan senantiasa diasah. Akan ada lebih banyak otot dan syaraf yang diaktivasikan sehingga lebih banyak keterampilan yang terasah. Foto-foto yang saya share di sini adalah hasil jalan-jalan sore saya di jalan Malioboro, Yogyakarta. Saya membawa tiga lensa dan semuanya adalah lensa dengan manual fokus. Kita saya mengambil gambar saya harus selalu menyadari kecepatan, diafragma, fokus, dan ISO.
Otak saya selalu aktif memikirkan empat hal itu dan tangan saya mengaturnya serta mata saya mengonfirmasi bahwa apa yang saya pikirkan tepat dan tangan saya mengatur dengan benar. Selain itu saya juga harus memikirkan subjek foto dan framing yang menarik. Maka bagi saya fotografi dengan mode manual 100% adalah sebuah latihan mengasah otak yang baik. Selamat mencoba!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H